Ratu Niang Sakti
Ketika melintas di sekitar Jalan Kumbakarna atau Pasar Wangaya Denpasar, banyak orang terlihat sembahyang dan menghaturkan sesajen pada sebuah palinggih berwujud sulinggih wanita tua yang sedang bersila dengan sikap tangan Amustikarana. Pelinggih Ida Ratu Niang Sakti, begitu orang-orang menyebutnya.
Tidak hanya warga Denpasar dan pedagang Pasar Wangaya yang rajin bersembahyang atau sekedar menghaturkan rarapan di palinggih Ratu Niang, namun kabar tentang palinggih ini telah tersebar ke berbagai penjuru baik di Bali maupun di luar Bali. Kasak-kusuk mengabarkan bahwa Ratu Niang sangat pemurah karena banyak permintaan telah terkabul oleh beliau.
Palinggih yang berdiri pada 18 Oktober 1998 tersebut diempon oleh keluarga besar Puri Jero Kuta yang letaknya tidak jauh dari lokasi palinggih. Adalah Anak Agung Ngurah Gede Agung atau akrab disapa Turah Belanda, 71, yang merupakan pemangku di palinggih Ida Ratu Niang Sakti. Ditemui di lokasi, Turah Belanda menceritakan awal berdirinya palinggih Ratu Niang hingga berbagai pengalaman unik yang pernah dilaluinya selama kurang lebih 21 tahun ngayah menjadi pemangku di palinggih tersebut.
Dahulu, ketika di puri ada upacara agama (karya mamukur), saat itu banyak orang ngayah dan Turah bertugas mengukur tanah untuk menentukan arah Surya bersama Ida Pedanda Bajing dari Griya Bajing Kesiman. “Ratu Pedanda jalan-jalan di daerah sini,” sambil menunjuk ke areal palinggih Ratu Niang. Turah pun dipanggil oleh Ida Pedanda sambil meminta rarapan (sesajen) karena Ida Pedanda melihat Ratu Niang sedang melancaran (jalan-jalan) di lokasi itu. “Icen Ida rarapan mangda ten udeke karyan Turah, mangda Ida mawali,” ucap Ida Pedanda pada saat itu pada Turah.
Setelah Turah membawakan rarapan, dilihatnya Ratu Niang sudah lenyap. Turah pun bercerita pada kakaknya perihal kejadian tersebut, akhirnya tercetuslah ide untuk mendirikan palinggih Ida Ratu Niang Sakti di jembatan dekat Pasar Wangaya yang kini sering didatangi pedagang dan warga sekitar untuk memohon rezeki dan hal-hal lainnya.
Awal berdirinya palinggih Ratu Niang rupanya belum membuat para pedagang ngeh, sehingga belum banyak yang tangkil atau sekedar menghaturkan sedikit sesajen di palinggih Ratu Niang. Maka, beberapa pedagang pernah secara misterius kehilangan uang hasil dagangannya. Diduga, kehilangan tersebut akibat tidak menghormati keberadaan palinggih Ratu Niang di tempat mereka mencari nafkah.
“Setelah palinggih ini berdiri, lama-lama saya juga tidak terlalu memperhatikan siapa saja yang datang. Ada saja sembahyang, yang minta pekerjaan akhirnya dapat pekerjaan. Lama-lama ada yang memohon jodoh, dapat jodoh, dan yang minta diberi keturunan juga dikabulkan,” tutur ayah 3 anak dan kakek dari 3 orang cucu tersebut.
Ada juga cerita lain tentang seorang penjual nasi jinggo yang berkaul pada Ratu Niang, bahwa jika ia memiliki anak, maka ia akan menghaturkan pesembahan berupa wastra (kain). Akhirnya anaknya benar-benar lahir, namun saat anaknya sudah menginjak 42 hari dan hendak diupacarai, anak tersebut tiba-tiba meninggal. Hal tersebut terjadi diduga karena ia lupa membayar kaulnya pada Ratu Niang.
Masih banyak kejadian-kejadian unik dan di luar nalar yang terjadi. Hingga saat ini, banyak pemedek yang tangkil silih berganti membawa hal-hal kegemaran Ratu Niang seperti bunga, makanan, dan sesajen lainnya sambil memohon berbagai hal berharap dikabulkan.
Khusus bagi orang sakit, Ratu Niang menolongnya melalui perantara Turah Belanda. Meski tidak mengucap mantra panjang seperti pemangku pada umumnya, namun Turah selalu dimudahkan jika ingin mengobati orang sakit. Apapun yang diambil terbukti mujarab sebagai obat. “Saya bukan dukun, mungkin karena kehendak Ratu Niang, apapun yang saya beri ke pemedek terbukti manjur obati penyakit mereka. Daun pun saya kasi, bisa membuat orang itu sembuh,” tutup Turah Belanda sembari terkekeh.
(okt 2019, denpasarnow.com)
Komentar
Posting Komentar