Raja-Raja yang Pernah Berkuasa di Bali

Raja-Raja yang Pernah Berkuasa di Bali

Kerajaan yang pertama tercatat dalam Sejarah Bali adalah Kerajaan Singamandawa atau Kerajaan Balingkang pada tahun 882 M, terletak disekitar Batur. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Raja bernama Sri Ratu Ugrasena Tambera, yang lebih dikenal dengan sebutan Mayadenawa, keturunan wangsa Keling atau Kalingga atau dikenal juga dengan nama wangsa Sanjaya yang berasal dari India Selatan. Pada masa kerajaan Singamandawa agama Budha mulai masuk ke Bali setelah terlebih dahulu berkembang di Jawa.
Pada tahun 913 M. muncullah Kerajaan Singaduwala atau Kerajaan Kahuripan. Rajanya adalah Kesari Warmadewa, keturunan dari wangsa Warmadewa yang leluhurnya berasal dari Raja Kutai Kalimantan Timur dan Sri Wijaya Sumatra Selatan. Kerajaan ini terletak di bumi kahuripan sekitar Besakih. Kedua kerajaan tersebut diatas bersaing ketat untuk menguasai daerah yang lebih luas, oleh karena itu keduanya terlibat dalam peperangan  yang akhirnya pada tahun 996M Kerajaan Singamandewa jatuh ke tangan Kerajaan Singaduwala.
Menurut pustaka kuno Raja Purana, Raja Bali ini dinamakan Sri Wira Dalem Kesari atau Kesari Warmadewa. Beliau sangat tekun beribadah, memuja dewa-dewa yang bersemayam di gunung Agung. Tempat pemujaannya disebut Merajan Selonding atau Merajan Kesari Warmadewa. Raja ini yang melakukan perluasan atas Pura Penataran Agung Besakih, yang tadinya sangat sederhana, serta memerintahkan masyarakat untuk merayakan Hari Raya Nyepi pada setiap Tilem Sasih Kesanga. Pada tahun 915M beliau digantikan oleh Sri Ugranesa Warmadewa. Dan beberapa raja-lainnya.
Pada masa kepemerintahan Raja Darma Udayana Warmadewa berkisar tahun 989 – 1001M dengan permaisuri Gunapriya Darmapatni atau Mahendradatta putri dari Mpu Sendok dari Jawa Timur. Beliau mendatangkan empat orang rohaniawan dari Jawa Timur yaitu :
  1. Mpu Semeru penganut agama Siwa pada tahun 999M, berparahyangan di Besakih selaku pengempon Pura Hyang Putrajaya, sekarang dikenal dengan Pura Ratu Pasek.
  2. Mpu Gana, penganut aliran Ganapatiya pada tahun 1000M, berparahayangan di Gelgel, dimana sekarang telah dibangun Pura Dasar Buwana.
  3. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha Mahayana pada tahun 1001M, berparahyangan di Padangbai dimana sekarang telah berdiri Pura Silayukti.
  4. Mpu Gnijaya, penganut Brahmaisma pada tahun 1006M, berparahyangan di Gunung Lempuyang sekarang telah dibangun Pura Lempuyang Madya.
Terjadi banyak perubahan dalam berbagai bidang di Bali sejak saat itu, Khususnya di bidang agama. Semula terdiri dari 9 sekte (sekte Ciwacidanta, Pasuphata, Bairava, Waisnawa, Budha, Brahmana, Rsi, Sora dan Ganapatya) yang menyebabkan timbul banyak pertentangan di masyarakat. Untuk itu Melalui prakarsa Mpu Kuturan yang menjabat Ketua Majelis Lembaga Tertinggi dalam pemerintahan Raja Udayana, mengadakan pertemuan segitiga antara kelompok : Budha Mahayana, Siwa dan Bali Age, dengan sekte-sektenya. Dalam pertemuan tersebut di sepakati 5 rumusan atau keputusan sebagai berikut :
  1. Paham Trimurti atau Trisakti atau Tritunggal, dijadikan sebagai dasar keagamaan bagi semua paham dan aliran.
  2. Pada setiap Desa Adat atau Desa Pakraman didirikan pura Kahyangan Tiga. Disamping adanya Pura Sawah yang disungsung oleh krama subak.
  3. Pada setiap rumah pekarangan harus dibangaun bangunan suci rong tiga, yang kini dikenal dengan nama Sanggah kemulan.
  4. Semua tanah pekarangan yang terletak disekitar Desa dan Pura Kahyangan Tiga menjadi milik Desa atau Pura Kahyangan Tiga dan tidak boleh diperjual belikan.
  5. Nama agama yang disepakati adalah agama Siwa-Budha.
Itulah sebabnya tempat dilaksanakannya pertemuan segitiga itu dinamakan Samuan Tiga, sedangkan Pura yang dibangaun di sana disebut Pura Samuan Tiga. Terletak di desa Bedahulu Gianyar.
Raja Udayana menurunkan 3 putra antara lain: Airlangga, Sri Marakanta dan Sri Anakwungsu. Karena Airlangga telah menetap di jawa Timur, maka adik-adiknyalah yang melanjutkan kekuasaan orangtuanya yaitu pada tahun 1022 – 1049M, Sri Marakanta yang berkuasa sedangkan Sri anakwungsu menjadi raja pada tahun 1049 – 1077M.
Raja Bali setelah Sri Anakwungsu yang menonjol dan mampu kembali menyelamatkan Bali dari malapetaka dan kembali menjalankan ibadah keagamaan yaitu Raja Sri Jaya Kesunu pada tahun 1155 – 1177M. Jaya Kesunu dianggap telah menerima wahyu dan mengajak rakyat kembali melaksanakan upacara agama, seperti mebyakala pada hari penampahan Galungan.
Raja berikutnya yang sangat pemberani dan menentang kerajaan Singosari adalah Raja Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana yang berkuasa pada tahun 1260 – 1286M. Raja ini adalah raja Bali yang tidak mau tunduk dengan raja Singasari (jawa) yaitu raja Kertanegara, maka raja Kertanegara mengirimkan pasukan ke Bali di bawah pimpinan patih Gajah Mada dan Arya Damar (ekspedisi I) pada tahun 1286M, Bali diserang dan dapat dikuasai raja Bali ditawan dan dibawa ke Singasari. Dan Bali menjadi wilayah kekuasaan Singasari. Sejak saat ini raja-raja Bali di tentukan oleh Raja Singasari.
Pada tahun 1293M. Singasari dapat ditundukkan oleh Majapahit maka raja-raja bali ditentukan dan diangkat oleh Raja Majapahit. Diantaranya adalah Sri Paduka Batara Mahaguru pada tahun 1324 – 1328M. Taruna Jaya dengan gelar Sri Wala Jaya Kertaningrat pada tahun 1328 – 1337M. dan selanjutnya digantikan oleh Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada tahun 1337 – 1343M. Beliau dikenal dengan Tapa Ulung, Gajah Waktra atau Gajah Wahana. Raja ini tak kalah wibawa bahkan dengan sesumbarnya mengatakan/menyatakan tidak lagi bersedia dikuasai oleh Majapahit, karena itu beliau diberi julukan Bedahulu. Beda artinya berbeda (berbeda pendapat) dan Hulu berarti Atasan.
Keadaan ini ternyata didengar oleh Raja Majapahit Tri Buwana Tungga Dewi, Beliau memerintahkan pasukannya untuk menyerang Bali di bawah pimpinan patih Gajah Mada dan para arya lainnya (ekspedisi II). Pada tahun 1343M Raja Asta Sura Bumi Banten dapat ditaklukkan, serta patih Pasung Gerigis ditawan dibawa ke Majapahit. Sebagai pucuk pimpinan di Bali untuk sementara adalaj I Gusti Agung Pasek Gelgel dari tahun 1343 – 1352M.
Pada tahun Caka 1274/1352M Patih Gajah Mada dan Raja Majapahit menetapkan seorang raja untuk Kerajaan Bali yaitu Sri Kresna Kepakisan. Putra ke empat dari Sri Kresna Wang Bang Kepakisan, dengan gelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan (Adipati Bali/ Raja Bali I). Beliau berkedudukan di Samprangan (Samplangan) kabupaten Gianyar. Patih Gajah Mada memberikan istana yang lengkap dengan sarana dan pakaian kebesaran, keris Si Ganja Dungkul bernama si Jangkung Mangelo, tombak bernama si Olang Guguh, dan piagam yang bersurat dengan tinta emas murni.. Yang menjabat mahapatih (patih Agung) dan penasehat adalah Arya Kepakisan keturunan Kediri (cucu dari Jayasaba). Baginda disegani oleh orang-orang sakti. Mereka bersikap hormat dan berprilaku sopan karena baginda dianggap penjelmaan Dewa Wisnu.  Adapun para mentri yang lain diberikan tempat dan kedudukan masing-masing sebagai berikut : Arya Kuta Waringin di Gelgel Klungkung, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog di Kaba-kaba, Arya Dencalang di kapal, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carang Sari, Arya kanuruhan di Tangkas, Arya Kryan Punta di mambal, Arya Jarudeh di Tamukti, Kryan Tumenggung di Patemon,  Arya Demung Wang Bang Kediri di Kertalangu, Arya Sura Wang bang Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang Mataran tidak menetap, Arya Mekel Cengkrong di Jembrana, Arya Pemacekan di Bondalem, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar.
Dalam perjalanan pemerintahan Dalem Ketut Kresna Kapakisan ternyata Bali belum begitu aman, ini terbukti dengan menghadapnya patih Hulung,  Arya Pemacekan, Arya Kepasekan Sangkul Putih, Arya Tatar, Arya Tutuan. Kyai Gusti Pasek Prateka dan Kyai Pasek Kadangkan, dimana mereka tidak dapat melaksakan perintah patih Gajah Mada untuk mengayomi pura-pura tempat persembahyangan di Besakih, di Lempuyang, Silayukti, dan Gelgel. Demikan juga di beberapa desa merasakan tidak aman seperti, Desa Batur, Cempaga, Songan, Abang, Pinggan, Muntig, Kintamani, Culik, Tista, Marga Tiga, Gabarwana, Datah dan lain-lainnya. Datangnya Arya Gajah Para dan Arya Getas yang bermarkas di Toya Anyar dibantu oleh Si Tan Kobar, Si Tan Kawur dan Si Tan Mundur, desa-desa tersebut  dapat ditundukkan. Keadaan ini membuat Baginda raja enggan lagi di Bali dan ingin pulang ke Jawa. Namun dengan dipersembahkannya keris bertuah dari patih Gajah Mada yang bernama Tampak Durga Dingkul dan pakaian Kebesaran yang wasiatnya adalah untuk menundukkan para durjana, maka para pemberontak merasa tidak berdaya, merasa takut dan tunduk kepada baginda Raja.
Setelah Pulau Bali dalam keadan aman maka Baginda Raja memerintahkan kepada pemimpin Pasek. Ki Pasek Gelgel agar memugar semua sad kahyangan di Besakih. Warga Pasek sujud menerima perintah Baginda Raja. Pasek Lurah Gelgel wajib mengatur segala pengeluaran termasuk tempatku memuja dan kepadamu diberikan sawah bukti berbibit 750 kg (50 tenah)  dan masing-masing soroh diberikan tanah bukti sesua dengan berat ringannya tugas yang diembannya. Pasek Gaduh ditugaskan mengatur siasat, Pasek Ngukuhin kamu adalah orang kuat, Pasek Kadangkan adalah orang kebal senjata. Kamu tiga bersaudara memimpin pasukan bersenjata (Dulang Mangap). Kalau aku diserang kamu harus melawan dengan gagah berani. Demikian sabda Dalem, warga pasek dengan sujud menjawab, daulat Sri Baginda.
Setelah beberapa lama menjadi penguasa Raja Dalem Ketut Kresna Kepakisan wafat pada tahun Caka1302/1380M. Baginda meninggalkan putra yang lahir dari istrinya I Gusti  Ayu Tirta putri dari Arya Gajah Para berputra 3 orang, yang sulung laki-laki bernama I Dewa Samplangan (I Dewa Samprangan), yang kedua bernama I Dewa Taruk, dan yang bungsu bernama I Dewa Ketut. Dari Istrinya yang bernama I Gusti ayu Kuthawaringin putri dari Arya Kuta Waringin berputra seorang laki-laki bernama I Dewa Tegal Besung (sumber dari Jro Mangku Ktut Subandi). Baginda Raja digantikan oleh anaknya yang pertama yaitu I Dewa Samprangan (suka bersolek) Raja Bali II tahun (1380 – 1383M) dan sering terlambat dalam persidangan. Maka beliau tidak lama bertahta dan pada tahun caka 1305/1383M oleh prakarsa Kyai Kebun tubuh diangkatlah Ida Idewa Ketut Ngulesir sebagai Raja, bertahta di Gelgel. Keratonnya diberinama Sweca Lingarsa Pura. Baginda Raja bergelar Dalem Ketut Smara Kepakisan. Perdana mentrinya bernama Kyai Nyuh Aya.
Pada waktu Dalem Ketut Smara Kepakisan (Raja Bali III) tahun 1383 – 1460M, memimpin Bali sebagai penguasa tunggal, daerah kekuasan baginda dalam keadaan selamat sentosa, cukup pangan tidak ada sengketa/perselisihan. Disini diceritakan baginda Raja Majapahit (Hayam Wuruk) memerintahkan untuk mengundang  para raja yaitu Raja Bali, Raja Blambangan, Raja Madura, Raja Pasuruan dan Raja Palembang untuk datang ke Majapahit. Raja Bali diiringi oleh patih dan para Arya yaitu Kryan Petandakan, Kryan Pinatih, Kryan Kebun Tubuh dan beberapa Kryan lainnya. Para Arya lainnya yaitu Arya Tabanan, Arya Tegeh Kori, Arya Penataran, Arya Tohjiwa, Arya Sukahet, Arya Pering, Arya Cagahan, tetap menjaga istana di Bali dengan sabda Dalem semoga saudara mendapat rahmat panjang usia dan selamat. Maharaja Majapahit dalam pertemuan tersebut banyak memberikan wejangan dan petuah tentang tata cara mengatur dan memimpin masyarakat di masing-masing daerah. Setelah menerima wejangan, Sri Hayam Wuruk member hadiah sebilah keris dengan ukiran nagapasa. Kini tibalah saatnya para adipati mohon diri kepada Maha Raja Hayam Wuruk.
Ketika Raja Bali dalam perjalanan menuju Bali mengalami hal yang aneh dimana sesampainya di Bengawan Canggu tiba-tiba keris Baginda terjatuh dan tenggelam ke dalam bengawan. Kemudian sarung keris itu diangkat dan diperlihatkan dari atas bengawan keris itu lalu kembali memasuki sarungnya. Maka keris anugrah tersebut dijuluki Ki Bengawan Canggu yang dianggap Ki Naga Basukih yang amat bertuah. Selanjutnya tetap berlayar dan menuju daerah masing-masing.
Setelah cukup lama baginda Raja Smara Kepakisan menikmati kebahagiaan, sebagai payung pelindung pulau Bali, maka tibalah saatnya Baginda secara gaib kembali kealam baka, dengan tanda-tanda baik pada tahun caka 1382/1460M. Baginda digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Dalem Waturenggong, yang telah dinobatkan sebagai raja muda sejak tahun caka 1380/1458M. Kedudukan para mentrinya masih tetap seperti almarhum ayahndanya, antara lain Ki Gusti Batan Jeruk, putra Kryan Petandakan, Ki Gusti Abian Tubuh dan Ki Gusti Pinatih telah menunjukkan setia bakti menuruti jejak ayahnya masing-masing. Baginda raja sangat dipuji keberaniannya, kebijaksanaan dalam mengendalikan roda pemerintahan. Keris Pusaka Ki Lobar, Si Tanda Langlang dan Si Bengawan Canggu merupakan Si Sangka Pancajania. Pasukan baginda yang disebut Dulang Mangap merupakan pasukan inti dengan kekuatan 1600 orang ibarat dewa maut dipimpin oleh patih Ularan.
Pasukan itulah yang dikerahkan untuk menyerang Dalem Buru pada tahun caka 1434 / 1512 M. ke Blambangan karena tidak berkenan menyerahkan putrinya yang bernama Ni Bas, sebab Dalem Buru dikutuk oleh Danghyang Nirartha atas perbuatan Baginda yang durhaka terhadap Sang Maha Pandita. Danghyang Nirartha pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong pindah dari Blambangan menyeberangi selat Bali dengan menggunakan waluh milik pelaut, Beliau menggunakan tangan dan kaki sebagai dayung, sedang istrinya bersama 7 orang putranya diangkut oleh pelaut mempergunakan perahu layar bocor.
Dalam waktu singkat Beliau tiba di Kapurancak pesisir Bali Barat pada tahun caka 1411/1489 M lalu ditinggal oleh pelaut. Akhirnya beliau tinggal dengan istrinya dengan 7 orang putranya kemudian bertemu dengan seorang gembala yang ditanyai jurusan jalan ke timur. Kini dilanjutkan lagi ceritanya, bahwa Danghyang Nirartha telah tiba di desa Gading Wani pada waktu itu desa tersebut terkena wabah yang sedang berjangkit dan masyarakat yang menderita sakit dapat disembuhkan. Kemudian tersiar berita sampai ke desa Mas (Gianyar). Pangeran Mas segera menjemput Beliau dan Pangeran Mas disucikan. Sesudah agak lama Sang Maha Pendeta tinggal di sana Pangeran Mas lalu menghaturkan seorang putrinya sebagai kesetiaan sisia kepada guru (Nabe) yang disebut Guru Yoga. Lama-lama tersiar berita sampai ke istana Gelgel, bahwa di Bali telah tiba seorang Pendeta Sakti seperti Lohgawe. Sebab itu Baginda Raja Waturenggong sebagai penguasa tunggal di Bali mengutus sekretarisnya Kiyayi Dauh Bale Agung untuk menjemput sang maha pendeta. Besok paginya Baginda Raja bersama Sang Maha Pendeta diiringi oleh para punggawa menuju istana Gelgel dan Danghyang Nirarta disediakan pasraman di Katyangan. Tidak dikisahkan dalam perjalanan akhirnya tiba di Gelgel dan langsung menuju Teluk Padang disekitar Parahyangan Mpu Kuturan. Baginda Raja dengan para Punggawa telah berkumpul  di luar parahyangan antara lain : Ki Gusti Batan Jeruk, Kyayi Gusti Pinantyan, Kiyayi Gusti Kebon Tubuh, dan lain-lain, di depan beliau itu adalah Ki Gusti Penataran, Ki Gusti Toh Jiwa, Ki Gusti Sukahet, Ki Gusti Pering, Ki Gusti Cagahan, Pacung, Abian Semal, dan Cacahan. Mereka tahu menempatkan diri dengan kedudukan masing-masing.
Kembali diceritakan pada waktu Dalem Waturenggong meme-rintahkan pasukan inti Kidulang Mangap yang dipimpin oleh Patih Ularan, untuk menyerang Dalem Buru di Blambangan tahun Caka 1434/1512M, akhirnya dalam peperangan Dalem Buru dapat dibunuh dengan memenggal kepalanya, karena itu Raja Waturenggong sangat marah dengan Patih Ularan karena tidak taat dengan perintah Raja. Baginda Raja bersabda: “nah hanya sekarang merupakan akhir pertemuan denganku”. Atas pengabdianmu aku menganugrahi kamu tanah berbibit 200 tenah, kesalahanmu tidak mentaati perintahku, dengan bersujud Patih Ularan mohon diri, lalu pergi dengan langkah tidak menentu. Beliau lalu pergi menuju utara gunung Tohlangkir bermukim di desa Petemon dan mengembangkan keturunan di sana.
Dikisahkan bahwa Baginda Raja ibarat Dewa Wisnu disegani oleh masyarakat, setelah Baginda Raja Dalem Buru wafat, maka masyarakat yang bermukim di sebelah timur Puger semua tunduk dengan Baginda Raja yakni : Blambangan, Puger dan Pasuruan, juga Nusa Penida di bawah kekuasaan Dalem Bungkut. Demikian juga Sumbawa, tunduk pada Baginda di tahun yang sama, yaitu pada tahun caka 1434/1512 M, pulau Lombok juga dapat dikuasai pada tahun caka 1442/1520M. Masyarakat dibawah kekuasaan Baginda selamat sejahtera, tidak berani berbuat jahat. Tiga Menteri utama Baginda yaitu, Kyayi Batan Jeruk adalah perwira keturunan Kepakisan, Kiyayi Pinatih adalah keturunan Wang Bang, Kiyayi Klapodyana keturunan Siwa Waringin. Ki Gusti Tabanan keturunan Arya Kenceng, Ki Gusti Kaba-Kaba keturunan Arya Belog, Ki Gusti Kapal keturunan Arya Dalancang. Ki Gusti Brangsinga, Tangkas, Pegatepan keturunan Arya Kanuruhan sebagai Sekretaris. Juga Ki Gusti Sukahet, Ki Gusti Pering, dan Ki Gusti Cagahan adalah keturunan Arya Wang Bang asal Lasem.
Selama Beliau bertahta, setelah Lombok dan Sumbawa ditakluk-kan, Beliau sempat beranjangsana ke kedua daerah itu menggunakan perahu layar diiringi para Menteri. Karena kunjungan Baginda di kedua daerah itu cukup lama, maka ada pengiring Baginda yang menetap di Pulau Sumbawa dan pulau Lombok dan mereka sempat mendirikan sebuah Pura tempat persembahyangan di Lingsar.
Setelah saatnya tiba Baginda Raja lalu pulang kealam gaib (moksa) pada tahun caka 1172/15580 M. Baginda meninggalkan dua orang putra yang belum berusia dewasa yang sulung bernama Ida I Dewa Pemahyun, adik beliau bernama Ida I Dewa Dimade yang juga dijuluki Ida I Dewa Anom Sagening. Kedua Beliau itu diasuh oleh paman Beliau (putra I Dewa Tegalbesung) yakni I Dewa Anggungan, I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli dan I Dewa Pegedangan.
Kedudukan Baginda Raja almarhum oleh Ida I Dewa Pemahyun, dibantu oleh paman Baginda berlima. Yang menjadi patih agung adalah Kryan Batan Jeruk. Lama-lama tiba saat kekacauan dan kerusuhan (kaliyuga), Kryan Patih Batan Jeruk akhirnya durhaka berontak melawan kekuasaan Dalem, dan menyerbu istana bersama I Dewa Anggungan, karena I Dewa Anggungan ingin menggantikan kedudukan Raja, dibantu oleh Kryan Tohjiwa, Kryan Pande merupakan satu keluarga dengan Kryan Batan Jeruk (putra tertua Kryan Dauh Baleagung dan cucu Pangeran Akah). Kemudian timbul perang dasyat di Gelgel terkenal dengan sebutan pemberontakan Kryan Batan Jeruk dan I Dewa Anggungan pada tahun caka 1478/1556 M. Tidak dikisahkan betapa sengit dan berapa lama pertempuran sudah berlangsung, hampir Bagin-da Raja menderita kekalahan sebab para menteri dan pejabat tinggi hampir semua memihak Kryan Batan Jeruk.
Hanya Kyayi Patih Kebon Tubuh dan keempat paman Baginda yang masih tetap setia kepada Baginda Raja. Kebetulan Ida I Dewa Pemahyun dan Ida I Dewa Anom Segening dapat ditipu dan ditawan dalam istana oleh Kryan Batan Jeruk dan I Dewa Anggungan.
Tersebutlah Kryan Dauh Nginte yang bermukim di Kapal mendengar berita bahwa Kryan Batan Jeruk durhaka berontak melawan kekuasaan Dalem. Beliau lalu mohon diri kepada datuknya dengan maksud pergi ke Gelgel untuk membantu Baginda Raja. Kryan Dauh Nginte adalah pemimpin pasukan pelopor para Menteri lainnya. Perjalanan Beliau disertai Kyayi Penarungan tidak dikisahkan dalam perjalanan.
Pada saat itu mereka yang terlibat dalam peperangan akhirnya mengadakan rapat, para menteri yang semula memihak Kiyayi Batan Jeruk berhasil dibujuk sehingga akhirnya dendam dengan Kryan Batan Jeruk. Pada situasi yang gawat itu Kriyan Kebon Tubuh bersama Kriyan Dauh Manginte tampil sebagai pemimpin laskar yang diikuti oleh Kyayi Pinantyan, Kyayi Anglurah Tabanan, Kyayi Tegeh Kori, Kyayi Kaba-Kaba, Kyayi Buringkit, Kyayi Sukahet, Kyayi Pering, Kyayi Cagahan, dan Kyayi Brangsinga, telah sepakat dan mendukung keputusan rapat itu. Mereka serempak masuk istana, guna membebaskan kedua putra yang ditawan. Kyayi Kebon Tubuh berhasil menyelamatkan kedua putra Baginda Raja dan segera diajak pergi ke rumah Kryan Dauh Baleagung. Akhirnya datanglah Kryan Batan Jeruk, bersama I Dewa Anggungan dibantu oleh Kryan Pande dan Kryan Tohjiwa mengamuk ke istana, melakukan serangan secara membabibuta Putri Raja adik Ida I Dewa Pemahyun dan Ida I Dewa Dimade dipenggal lehernya, beliau dibunuh tanpa perlawanan walaupun tanpa dosa.
Kryan Tohjiwa gugur dan Kryan Pande menyerah, I Dewa Anggungan akhirnya menyerahkan diri, tapi hubungan persaudaraan dilepas oleh keempat saudaranya dengan menurunkan kebangsawanan nya dan tidak diakui lagi sebagai Dewa, tapi dijadikan Sang Anggungan. Setelah menderita kekalahan akhirnya Kyayi Batan Jeruk pergi dari Gelgel, dan menuju kearah timur dan tiba di desa Bungaya, terus dikepung oleh pasukan Kryan Nginte, dan akhirnya dibunuh di Jungutan Bungaya. Sanak keluarganya pergi tidak tentu arah tujuannya (ada versi lain dari Kupu-Kupu Kuning yang terbang di Selat Lombok), bahwa istri Kryn Batan Jeruk serta anak angkatnya bernama I Gusti Pangeran Oka dalam keadaan selamat terhindar dari kepungan pasukan Gelgel, saat itu mereka bersembunyi pada tanaman Jawawut.
Dikisahkan kembali setelah kedua putra Baginda Raja berusia dewasa maka Ida I Dewa Pemahyun yang menggantikan tahta Kerajaan bergelar Sri Aji Pemahyun Bekung pada tahun Caka 1482/1560 M, dibantu oleh adik baginda Ida I Dewa Anom Sagening. Kryan Dauh Nginte ditetapkan menjadi patih utama (Adi Patih). Sebagai keturunan Kepakisan dan Kryan Made Asak dua bersaudara Asak dan Nyuhaya. Berputra Kryan Petandakan, Kryan Petandakan berputra Kryan Batan Jeruk. Baginda Raja Sri Aji Pemahyun Bekung punya seorang putri berparas cantik bernama Sri Dewi Pemahyun. Kemudian Baginda Raja menyunting lagi seorang putri bernama I Gusti Ayu Samuantiga. Karena parasnya cantik, tahu isyarat dan manis tutur bahasanya.
Pada jaman pemerintahan Dalem Pemahyun Bekung dengan ibukotanya Gelgel, pola pikir baginda telah mengalami perubahan. Baginda tidak mau lagi menerima usul/saran dari keempat pamannya karena beliau itu bersaudara dengan Sang Anggungan, lagi pula Baginda bersikap tak acuh tidak mengikuti jejak almarhum Baginda Raja Waturenggong. Akhirnya terjadilah kekacauan, kerusuhan dan kejahatan semakin memuncak, sehingga terjadi pembunuhan mengakibatkan Ki Gusti Telabah meninggal, yang membunuh bernama Ki Capung, yang merencanakan pembunuhan adalah I Gusti Pande. Maka terjadilah pertempuran antara I Gusti Pande dengan Ki Gusti Telabah, dan I Gusti Pande terbunuh, demikian juga anaknya yang bernama Ki Gusti Wayahan Bysama, terjadi pada tahun caka 1500/1578M. Hancurlah putra dan cucu Ki Gusti Dauh Bale Agung.
Entah berapa lama baginda Raja bertahta dan setelah terbu-nuhnya Kyai Telabah, maka dikalangan masyarakat selalu timbul kekacauan karena Raja dianggap tidak berwibawa lagi. Oleh sebab itu pejabat Kerajaan lalu mengadakan sidang, yang mengangkat Ida I Dewa Anom Segening sebagai Raja pada tahun Caka1502/1580M, Dalem Pemahyun Bekung kemudian pindah dari istana dan selanjutnya ber-istana di Jro Kapal Gelgel.
Diceritakan kembali pada pemberontakan Ki Pande Basa, yang dibantu oleh anaknya Ki Gusti Wayahan Byasama beserta saudara-saudara telah gugur direbut oleh pasukan pengawal Kerajaan. Menantu I Gusti Pande Basa  yakni istri dari I Gusti Wayahan Byasama yang bernama I Gusti Ayu Singarsa yang sedang hamil dapat meloloskan diri dari kepungan musuh, lalu bersembunyi di rumah Kyai Lurah Pinatih. Raja juga menyuruh mencari janda tersebut untuk dihabisi. Utusan Raja yang mencari mendapat keterangan dari I Gusti Lurah Pinatih, “bagai-mana ini sudah terlanjur begini”. Utusan itu kembali melaporkan kepada Raja, bahwa I Gusti Ayu Singarsa telah di ambil oleh Kyai Lurah Pinatih dan sudah hamil. Demikianlah akhirnya I Gusti Ayu Singarsa selamat. Beberapa hari kemudian ia pergi ke Hyang Taluh ke rumah ayahnya I Gusti Sidemen. Makin hari hamilnya makin besar, lalu I Gusti Lurah Sidemen mengutus putrinya ke gunung Sibetan. Yang waktu itu di sebut Kuncara Giri. Disinilah lahir putranya yang bernama I Gusti Abian Nengan alias I Gusti Dauh Purnamaning Kapat. Tempat kelahiran ini bernama Garba Kuncara Giri (Sibetan). Dari sinilah keluarga ini menyebar ke Selat, Muncan, Sidemen dan lain-lain.
Ketika Sri Aji Anom Segening menjadi pelindung pulau Bali, wibawa baginda tampak makin menyala, sebab baginda gagah berani, cerdik dalam upaya sehingga Pulau Bali menjadi aman dan masyarakat dalam keadaan selamat sejahtera. Daerah kekuasaan baginda menjadi makmur tidak kurang sandang pangan, berkat pengaruh dan wibawa dikawasan nusantara. Karena itu orang-orang Bajo yang tinggal di pulau Lombok dapat ditaklukkan pada tahun caka 1447/1525M. Demikian pula Pulau Sumbawa dikuasai kembali pada tahun caka 1542/1520M. Dengan menggunakan kekerasan, Baginda Raja memenuhi tuntutan nafsu birahinya istri Ki Gusti Kaler Prandawa dijamah dan melahirkan Ki Lurah Mambal. Ki Gusti Kaler Prandawa berputra sembilan orang pria dan lima orang wanita. Satu orang dinikahi oleh Baginda Raja, satu orang kawin ke Sidemen. Satu orang ke Sukahet menikah dengan Ki Gusti Lurah Sukahet, ke Bontiris seorang dan ke Tabanan seorang. Kyai Agung Widya memiliki putra lima orang laki dan tiga orang wanita. Tersebutlah Baginda Raja Dalem Segening mempunyai banyak istri dan putra. Nama putra baginda masing-masing yang sulung Ida I Dewa Anom Pemahyun, adiknya Ida I Dewa Dimade, keduanya beribu Ni Gusti ayu Pacekan, putri Kryan Agung Prandawa, dan seorang wanita bernama Ida I Dewa Rani Gowang. Ada lagi bernama Ida I Dewa Karangasem ber ibu seorang bangsawan. Yang ber ibu ras kebanyakan adalah I Dewa Pemeregan, I Dewa Lebah, I Dewa Sidan, I Dewa Kabetan,  I Dewa  Pesawahan, I Dewa Cawu, I Dewa Belayu, I Dewa Sumretta, I Dewa Kulit, I Dewa Bedahulu. Adalagi putra baginda bernama I Dewa Manggis, Kyai Barak Panji, telah menduduki jabatan yang layak.
Sri Aji Anom Segening sangat lama bertahta sampai mencapai umur tua. Ida I Dewa Dimade menikah dengan I Gusti Ayu Selat, kemu-dian melahirkan Ida I Dewa Agung Pemahyun. Ida I Dewa Anom Pemahyun telah menikah dengan Ida I Dewa ayu Pemahyun pada tahun caka 1545/1623M. Melahirkan putra dua orang sama-sama berwajah tampan. Yang sulung diberi nama Ida I Dewa Anom Pemahyun seperti nama ayahnya, adiknya adalah Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade.
Diungkapkan bahwa setelah Sri Agung Pemahyun Bekung turun dari tahta  Kerajaan beliau akhirnya pindah dari istana Jro Kapal Gelgel ke desa Purasi, karena tidak kuasa terlalu lama menderita duka nestapa dan kemudian tinggal menetap di sana. Kemudian beliau sempat mem-bangun pura tempat pemujaan yang disebut Pura Dalem, tahun caka 1545/1623M. Pada suatu ketika datang utusan menghadap Ida I Dewa Anom Pemahyun menyampaikan pesan dengan membawa sebuah usungan (dampa) disertai beberapa orang pengikut yang diperintahkan oleh Ida I Dewa Dalem Segening untuk menjemput agar beliau berkenan kembali ke Gelgel, dengan berdatang sembah “ampun Sri Baginda junjungan hamba, hamba diutus menjemput Sri Baginda agar berkenan kembali ke Gelgel, oleh Baginda Raja Anom Segening dan berkenan kembali beristana di Jro Kapal Gelgel, karena sekarang baginda telah mempunyai cucu”. Ternyata airmata beliau yang berderai dipipi menghancurkan kalbu. Kemudian dengan perasaan gembira Sri Aji Pemahyun Bekung kembali ke Gelgel dan tinggal di Jro Kapal, dalam asuhan putrinya/menantu baginda Ida I Dewa Anom Pemahyun. Demikian pula Sri Anom Segening merasa gembira atas kembalinya kakak baginda termasuk para pejabat tinggi Kerajaan. Sri dewi Pemahyun beserta kedua putranya juga merasa gembira, sebab merupakan pertemuan yang pertama kalinya. Demikian juga Sri Aji Agung Bekung sangat gembira melihat kedua cucunya lalu bersabda “ Cucuku kemudian patut menjadi Raja pelindung pulau Bali”.
Entah berapa lama berselang tibalah saatnya Sri Aji Pemahyun Bekung berpulang kealam gaib. Diceritakan Kryan Patih Prandawa sebagai patih kepercayaan Dalem Anom Segening mohon kehadapan Raja agar cucu baginda diperkenankan menjadi pemimpin di daerah Mengwi, supaya setiap daerah mempunyai pemimpin. Karena itu, maka cucu baginda yang sulung bernama Ida I Dewa Anom Pemahyun yang masih remaja pindah ke Mengwi pada tahun caka 1580/1658M bertepat-an dengan ayah beliau mendirikan istana di Sidemen dusun Melayu (sekarang bernama Ulah). Baginda Raja Anom Segening telah pulang kealam gaib pada tahun caka 1587/1665M, sehingga seisi istana berduka cita, lalu diselenggarakan upacara pembakaran jenasah dan dilanjutkan dengan upacara penileman.
Setelah wafat baginda Anom Segening, maka kedudukan Raja digantikan oleh putra sulung ras Pemahyun bergelar Dalem Anom Pemahyun, yang mengangkat keturunan Kryan Kebon Tubuh menjadi patih agung, Kryan Tangkas menjadi patih anom, Kryan Brangsinga menjadi sekretaris Dalem. Kedudukan para pejabat tinggi istana diganti oleh segenap warga Pasek. Akhirnya timbul rasa tidak puas dikalangan mereka yang menganggap dirinya kehilangan kedudukan, menimbulkan pertikaian yang dipelopori oleh Kryan Agung Maruti Dimade, semua sanak keluarga Kryan Agung Maruti Dimade ingin mengangkat Ida I Dewa Anom Dimade sebagai Raja di Bali, karena beliau dapat dipe-ngaruhi dan tidak tahu siasat musuh dalam selimut.
Entah sudah berapa lama Dalem Anom Pemahyun bertahta sebagai Raja di Bali akhirnya timbul kekacauan, kerusuhan, gejolak di masyarakat luas karena Kryan Agung Maruti merencanakan makar terhadap kekuasaan Raja. Dengan membandelnya Kryan Agung Maruti Dimade, maka Baginda Raja Anom Pemahyun merasa sayang, kalau-kalau terjadi kekacauan dan kehancuran daerah dan merasa segan untuk merebut kekuasaan serta tidak menghendaki terulangnya pertumpahan darah diantara sanak keluarga. Baginda hanya menginginkan keselamatan rakyat. Baginda lalu berupaya mengadakan perundingan dengan para pejabat tinggi istana dan para  menteri. Baginda bertekad pindah dari Gelgel. Setelah mendapat kesepakatan maka Baginda berangkat bersama putra yang kedua diiringi oleh para pengawal yang ikhlas terhadap junjungannya. Baginda menuju ke arah timur ke istana Dalem Bekung di Purasi. Sebagai pelopor dalam perjalanan adalah Kryan Tubuh, Kryan Brangsinga, Kryan Tangkas. Tidak dikisahkan dalam perjalanan, akhirnya baginda bersama pengiring tiba di desa Purasi pada malam hari ketika tahun caka 1587/1665M. Para pengawal dan pasukan  inti serta pengiring lainnya berjumlah 310 orang, segala perlengkapan istana termasuk pakaian kebesaran dibawa, Kris pusaka Ki Sudamala (Ki Begawan Canggu) serta alat-alat upacara lainnya.
Setelah Baginda Raja Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel maka Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade menggantikan baginda sebagai Raja di Bali dengan kedudukan istana di Gelgel. Kryan Agung Maruti Dimade sebagai anak angkat Kryan Kedung menjadi patih. Pada masa pemerintahan Dalem Anom Pemahyun Dimade, keamanan dan ketertiban umum mantap, kemakmuran dapat dirasakan oleh rakyat di pegunungan dan di pesisir pantai sehingga rakyat memuja pemerintahan Baginda Raja. Beliau menikah dengan Ni Gusti Peling (I Gusti Ayu Peling), sepupu dari pihak ibu, yaitu putri dari Lurah Sukahet (Babad Arya Pusdok Prop. Bali).  Beliau berputra 2 orang, yang sulung bernama Ida I Dewa Pemahyun beribu ras Desak dari Bakas, yang diadiahi keris oleh kompyangnya (Kryan Kaler Prandawa).  Adik beliau bernama Ida I Dewa Agung Jambe, ber ibu adik Kryan Jambe Pule dari daerah Badung. Dikisahkan kembali bahwa Dalem Anom Pemahyun yang tinggal menetap di Purasi pada bekas istana Dalem Bekung dahulu, sempat memugar pura pada tahun caka 1555/1633 M, (yang dibangun oleh Dalem Pemahyun Bekung lengkap dengan upacara menyapuh dan ngenteg linggih tahun caka 1590/1668 M) pura tersebut diberi nama Pura Ukir Anyar. Diceritakan kembali bahwa Sri Dewi Pemahyun tetap tinggal di Jero Kapal Gelgel, tidak turut menyertai suami dan putranya.
Entah berapa lama Dalem Anom Pemahyun bermukim di Purasi, kemudian pindah menuju ke desa Ababi di dusun Tembega, diiringi oleh para pejabat tinggi Kerajaan, dan pasukan inti yang setia sejak semula. Ki Bendesa Basangalas, Budakeling, Bungaya, Yeh Poh, Manggis, Ulakan, Antiga, Padang, Sukahet, Sangkan Gunung, Nongan, Tebola, Duda, Muntig, mereka itu mendapat tanah bukti masing-masing berbibit 50 catu. Semua itu adalah atas anugerah dari Dalem Pemahyun.
Sesudah itu beliau melanjutkan perjalanan ke desa Ababi, disertai putra beliau Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade, dan semua pasukan pengawal. Dalem Pemahyun akhirnya membangun istana di Tembega pada tahun Caka 1593/1671 M. disebut Pemahyun Rajya. Beliau pula membangun pura Penataran Pemerajan, dilengkapi dengan upacara Nyapuh Ngenteg Linggih pada hari Rebo Wage Wuku Kelau ketika tahun Caka 1598/1676 M. disebut pura Penataran Pemerajan Pemahyun.
Dikisahkan kembali bahwa pada waktu Dalem Anom Pemahyun menjadi penguasa daerah Singarsa (Sidemen), dibantu oleh Kyayi Lurah Sidemen, sebab itu Ki Lurah Sidemen mendirikan rumah pemukiman di Sidemen pada tahun Caka 1563/1641 M. diiringi oleh Kyayi Lurah Sukahet.
Kemudian putra Dalem Anom Pemahyun yang bernama Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade diperintahkan oleh ayah beliau sebagai penguasa Sidemen, dibantu oleh Kryan Lurah Sidemen dan Kryan Lurah Sukahet. Pasukan pengawal beliau juga ikut menyertai Ida I Dewa Anom Pemahyun ke Sidemen dan sebagai pemukanya Ki Gusti Madya Abrangsinga, Ki Pakis Kandel, Ki Bendesa Tangkas Kori Agung, Ki Kebon Tubuh, Ki Pasek Tohjwa, dan keturunan para Arya yang menyertai dahulu. Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade menyandang keris Ki Kidang Manolih, sehingga rakyat Sidemen hormat pada beliau, dan beliau bersikap adil dalam mengayomi daerah kekuasaan beliau. Sebagai pembantu utama adalah Ki Lurah Sidemen, bekerjasama dengan Pedanda istana di Sekaton.
Entah berapa lama berselang sesudah Ida I Dewa Anom Dimade bermukim di Sidemen, Kyayi Lurah Sidemen mempersembahkan seorang putrinya yang bernama I Gusti Ayu Sapuh Jagat sebagai permaisuri. Upacara pernikahan atau Widi Widana dipuput oleh Pedanda Wayahan Buruan yang berasrama di Sukaton pada tahun Caka 1598/1676 M. Setelah beberapa lama hubungan suami istri Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade dengan I Gusti Ayu Sapuh Jagat, dikaruniai 2 orang putra pria dan wanita. Yang sulung bernama Ida I Dewa Agung Gde Ngurah Pemahyun, adik beliau bernama Ida I Dewa Agung Ayu Gede Raka Pemahyun. Kemudian setelah putri beliau itu dewasa kawin dengan putra pendeta/pedanda Anom di Geriya Ulah, beliau adalah seorang pendeta yang berilmu tinggi, berasrama di bukit Singarsa bernama Batur Dewangga.
Dikisahkan kembali perjalanan Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade menuju istana Tembega bersama permaisuri dan kedua putra-nya pada Rabu Wage Klawu, tahun Caka 1606/1684 M. untuk mengha-dap Dalem Anom Pemahyun, dalam rangka melakukan pemujaan ter-hadap para leluhur di Pemerajan Penataran Pemahyun Tembega, disamping untuk memperkenalkan putra-putri beliau kepada Dalem Pemahyun. Pengiring beliau lebih dari 200 orang beserta pasukan pengawal, serta pendeta istana. Tidak diceritakan dalam perjalanan akhirnya tibalah diistana Pemahyun Tembega dan terus menghadap ayah beliau.
Suasana di istana Tembega sangat semarak, demikian juga betapa bahagia hati beliau Dalem Anon Pemahyun melihat putra, me-nantu, cucu bersikap hormat dan taat kepada leluhur. Kemudian beliau berangkat bersama-sama untuk melakukan persembahyangan pada waktu bulan purnama di Pemerajan Penataran Pamhyun Tembega.
Dikisahkan setelah lewat bulan purnama (upacara Odalan) para penghadap kembali ke Sidemen sebagai pusatnya Singarsa. Dikisahkan setelah I Dewa Anom Dimade tiba kembali di Sidemen datanglah anak Ki Pasek Tohjiwa, dan adiknya bernama Ki Pasek Waniya, yang semula bermukim di Cegeng untuk menghadap. Dia menyampaikan laporan bahwa Kriyan Agung Maruti Dimade curiga dan dikejar-kejar oleh anak buahnya mau dibunuh. Baginda Raja sedang dikurung oleh pasukan Kriyan Agung Maruti Dimade, karena beliau bermaksud melawan pemerintahan Baginda Raja dan ingin menjadi Raja dan Sidemen mau diserang. Raja dapat meloloskan diri dijemput oleh pasukan pengawal dari barat Tukad Bubuh, sekarang baginda Raja berada di desa Guliang. Setelah Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade mendengar bahwa Sidemen mau diserang lalu disiapkanlah laskar mendahului menduduki Cegeng, Tembaga dan Tohjiwa sehingga pasukan Kriyan Agung Maruti Dimade batal menyerang Sidemen. Dikisahkan bahwa Dalem  Pemahyun mengalami sakit, dan akhirnya Baginda Raja wafat, pada tahun Caka 1608/1686 M.
Setelah lama belum ada yang menggantikan istana Pemahyun maka Ida I Dewa Anom Dimade dari pusat daerah Singarsa memegang tapuk pemerintahan dibantu oleh para pejabat dan didampingi oleh sang pendeta Bhagawanta. Keamanan di wilayah Sidemen cukup mantap karena beliau disegani oleh rakyatnya. Karena kelicikan politik Anglurah Agung Maruti Dimade yang telah berhasil merebut kekuasaan Dalem dan mengangkat dirinya menjadi Raja tahun caka 1609/1680M.
Diceritakan setelah Dalem Dimade wafat di Guliang Tamanbali Bangli tahun caka 1616/1694M, ada putra baginda 2 orang yang masih kecil-kecil yaitu I Dewa Agung Pemahyun dan adiknya I Dewa Agung Jambe. Raja-Raja pasal yang masih setia seperti Raja Den Bukit I Gusti Panji Sakti, yang masih saudara Dalem, Raja Badung Kyayi Jambe Pule yang masih mertua Dalem atau kakek dari I Dewa Agung Jambe. Kemudian Anglurah Sidemen, Kyayi Gusti Sidemen yang masih sepupu Dalem dari pihak ibu serta I Dewa Sumretta telah sepakat untuk meng-angkat Raja baru pengganti Dalem.
I Dewa Agung Pemahyun berkedudukan di Tampaksiring, dengan diiringi 150 orang wadua, (termasuk pejabat yang setia) diantaranya keturunan Pasek Gelgel. Sedangkan dari hasil keputusan tersebut maka tersusunlah rencana besar yaitu :
Pertama, menyiapkan I Dewa Agung Jambe sebagai pewaris tahta, diserahkan kepada Ki Anglurah Sidemen, kedua merebut kembali Gelgel dan menghancurkan kekuatan Maruti. Untuk menyiapkan se-rangan ini ditugaskan kedua Raja (Anglurah) yaitu Panji Sakti dan Jambe Pule, yang memang telah memiliki prajurit yang tangguh, dan menghim-pun serta mencari dukungan kepada Dinasti Sri Kepakisan yang masih setia. Setelah semuanya ditetapkan maka Ki Gusti Sidemen, I Dewa Agung Jambe membawa Ki Tadah Langlang, selalu mendapat perlin-dungan pamannya I Dewa Sumretta, berangkat bersama-sama ke Ulah/Sidemen disertai oleh para Ksatrya 150 orang. Mereka menempati Puri dari saudara misannya Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade yang telah wafat, sebagai penguasa Sidemen, pada tahun Caka 1616/1694 M, ketika itu putra Beliau masih sebaya kanak-kanak. Setelah lama menetap di Sidemen, untuk mempersiapkan serangan balasan, I Dewa Jambe terus mendapat pelajaran dari Ki Anglurah Sidemen, dengan berbagai ilmu pemerintahan, dan keanoragan serta taktik dan strategi/ gelaran perang sampai I Dewa Jambe beranjak dewasa/remaja.
Sedangkan I Dewa Sumretta yang telah lama menetap di Sidemen, sering bermain untuk mengisi waktu dan menghibur diri, dari kegiatan sehari-hari didalam menemani keponakannya, serta menyiap-kan kedepan untuk merebut Gelgel kembali. Tempat yang sering dikun-jungi adalah desa di sebelah selatan Ulah/Sidemen yaitu desa Sukahet (Babad Ksatrya Dalem Segening/lahirnya Ksatrya Sukahet).
Di situ yang berkuasa menjadi Anglurah adalah I Gusti Sukahet. Putri Anglurah Sukahet yang bernama I Gusti Ayu Sukahet amatlah cantik dan pemberani sehingga I Dewa Sumretta jatuh hati dan sangat cinta kepada putri Anglurah. Pucuk dicinta ulampun tiba, mereka saling jatuh cinta layaknya sepasang kekasih (waktu itu usia I Dewa Sumretta kira-kira 28 tahun).
Setelah direstui oleh Anglurah Sukahet, maka upacara perka-winanpun dilaksanakan di Puri Anglurah Sukahet yang dihadiri oleh seluruh warga yang mengiringi dan sudah barang tentu dihadiri pula oleh I Dewa Agung Jambe (keponakannya), dan Anglurah Sidemen. Selama dua bulan setelah pernikahannya, I Dewa Sumretta dengan istrinya berpamitan untuk kembali ke Sidemen guna melakukan kewajiban sebagai Kesatriya, demi mengembalikan kewibawaan dinasti leluhurnya. Hari-hari bahagia dilaluinya namun sampai 3 tahun pernikahannya setiap kelahiran anaknya selalu saja meninggal, rasa sedih ini selanjutnya disampaikan kepada mertuanya, kemudian disarankan cara untuk menangkalnya yaitu berupa yadnya bebantenan katur kepada Bhatara Durga. Dan sebagai sarananya adalah 5 butir kelapa hijau yang tumbuh di utara dan timur, kain putih, bebantenan (tidak disebutkan nama bantennya) lakukan pada hari yang baik yaitu saat Keliwon Antara, parut dan jadikanlah kelapa tersebut minyak, gunakanlah tulang tengkorak manusia sebagai sarana membuat minyak dan di lakukan tepat ditengah malam di tengah kuburan, minyak itu adalah obat penangkalnya. Semua itu dilakukan dengan memuja Bhatara Durga. Kemudian setelah hamil 5 bulan waktu yang baik untuk memuja Bhatari Durga, mereka tanpa mengenal takut akan keangkeran Setra/kuburan yang ada di  Sukahet itu, melaksanakan saran mertuanya yang terkenal amat wikan dalam usada.
Pada tahun ke 4 (empat)  setelah hari pernikahan I Dewa Sumretta, hari bahagia yang ditunggu-tunggupun  tiba, begitulah dengan amat bahagianya kedua pasangan yang telah lama menunggu pratisentana terlihat berbinar-binar. Akhirnya semua terkabul karena swecan Betari Durga yang maha kasih, secara berturut-turut lahirlah anak-anaknya : Pertama I Dewa Peduhungan lahir sekitar tahun 1658 M, kedua I Dewa Negara lahir sekitar tahun 1661 M, ketiga I Dewa Kereng lahir sekitar tahun 1664 M.
Setelah kurang lebih selama 35 tahun di dalam pengungsian, mereka anak-anak I Dewa Sumretta sudah beranjak dewasa/remaja, I Dewa Peduhungan, I Dewa Negara, I Dewa Kereng selalu menerima pelajaran olah yuda dan kanoragan, baik oleh kakeknya yang amat sakti dan pintar, Anglurah Sidemen, atau dari ayahnya sendiri serta saudara misannya I Dewa Agung Jambe, pewaris tahta Dinasti Kresna Kepakisan, sedang kakaknya berkuasa di Tampaksiring yaitu I Dewa Pemahyun.
Waktu yang ditunggu telah tiba, semua kesiapan penyerangan telah disusun dengan rapi dan terencna, terutama masalah logistik dan persenjataan, jumlah prajurit yang disiapkan dan lain-lain. Karena serangan menggunakan strategi supit udang komando tertinggi ada pada Raja I Dewa Angung Jambe (I Dewa Agung Putra) yang dibantu oleh ketiga adik-adiknya anak I Dewa Sumretta, berkedudukan sebagai Kepala dalam menggelar strategi supit udang, dan dibantu oleh Raja Denbukit I Gusti Panji Sakti, paman Raja I Dewa Sumerta, Anglurah Sidemen, Raja Badung Kiyayi Jambe Pule Pemecutan.
Demikianlah susunan dan gelar perang yang telah direncanakan, masing-masing kini sedang bergerak menuju poros gerakan sehingga pada hari yang ditentukan, mereka sudah siap diperkemahan, karena penyerangan tinggal menghitung hari.
Kita kembali ke Sidemen, I Dewa Sumretta yang ditemani istrinya I Gusti Ayu Sukahet, sedang memangku suaminya yang telah wafat mungkin karena sudah umur.
Setelah seluruh Bala Yuda bergerak dengan gagah perkasa me-ninggalkan Sidemen mereka bergerak penuh keyakinan untuk menjalan-kan darma, Sang Satriya Sukahet I Dewa Paduhungan, I Dewa Negara, dan I Dewa Kereng mereka mengawal I Dewa Jambe kakaknya, yang kelihatan sangat tampan, agung dan berwibawa, laksana Arjuna terjun ke Kuru Setra.
Upacara Pelebon I Dewa Sumretta dilaksanakan oleh mertuanya Kiyayi Anglurah Sukahet, dibantu oleh seluruh rakyat Sidemen, kemu-dian Bethara I Dewa Sumretta, yang telah suci distanakan di Merajan Ulah serta disungsung oleh keluarga Kyai Anglurah Sidemen dan Sukahet beserta abdi yang menyertai beliau dari Gelgel dan menetap di Sidemen. Pura Merajan Agung itu juga menjadi Pura Kawitan keturunan Raja I Dewa Agung Jambe beserta Ksatrya Dalem Sagening dengan I Gusti Ayu Sukahet.
Masa sekitar tahun caka 1599/1677 M adalah suatu masa dimana kekuatan dan kewibawaan Dinasti Kepakisan, dibawah kepemimpinan Raja I Dewa Agung Jambe mulai bersinar, dengan dibantu oleh koalisi kekuatan utama Bali, waktu itu seperti Kiyai Jambe Pule, Anglurah Badung, I Gusti Panji Sakti Raja Denbukit.
Pasukan koalisi menyerang dari barat dilaksanakan oleh Raja Denbukit, dan dari arah selatan langsung dipimpin oleh Kyai Jambe Pule, sebagai supit kanan, sedangkan Balayuda Sidemen yang dipimpin Anglurah Sidemen, menyerang dari arah timur laut/utarayana sebagai supit kiri, sedangkan yang bertindak sebagai ekor terdiri dari I Dewa Manggis manca Gianyar, I Dewa Denbancingah, sedangkan pasukan bayangkara/Pekandel yang dipimpin tiga bersaudara Ksatrya Sukahet I Dewa Paduhungan, I Dewa Negara, I Dewa Kereng, sebagai pucuk pimpinan/membawahi tiga senopati yaitu Raja I Dewa Agung Jambe.
Keesokan harinya telah datang berita dari telik sandi yang telah dilepas untuk menyusup ke Gelgel, serta berita kesiapan untuk seluruh pasukan untuk masuk menyerang Gelgel, sementara perang kecil-kecilan telah mulai dilakukan, siasat untuk memancing musuh agar keluar dari keraton. Sementara itu di sektor barat telah terjadi pertempuran sengit, akhirnya patihnya Ki Dukut Kertha terbunuh.
Agung Maruti yang mendengar patihnya telah gugur segera mengerahkan pasukannya, menyerang balayuda Ki Jambe Pule, terja-dilah pertempuran berdarah yang amat menggetarkan seluruh Gelgel. Ki Jambe Pule dengan gagahnya mengalami pengeroyokan pengawal Maruti yang sakti-sakti, akhirnya Kyai Jambe Pule gugur sebagai Ksatrya pilih tanding, namun pasukan Maruti berhasil melarikan diri, menuju Jimbaran, kemudian kekeramas akhirnya meninggal di sana mungkin karena luka-luka yang dideritanya.
Begitulah dengan menggelar strategi (formasi) supit urang itu mampu menembus Gelgel dan semua balayuda bertemu di Karaton Gelgel, yang telah berubah menjadi puing-puing kehancuran.  Sebagai penghormatan dan penghargaan arwahnya Ki Jambe Pule di stanakan di Pura Klotok sehingga seluruh pratisentananya ingat akan perjuangan leluhurnya.
Demikianlah dengan kekalahan Agung Maruti di Gelgel, serta hancurnya Keraton Gelgel, tidak mungkin membangun Keraton itu lagi, begitu pahitnya kenangan yang ditinggalkannya, yang merupakan tempat kelahirannya. Sebaliknya dengan penuh kebanggaan I Dewa Agung Jambe dengan adik-adiknya Ksatrya Dalem Sukahet dibantu saudara yang lain akan selalu dikenang, karena berhasil mengembalikan kewibawaan Dinasti. Mentari telah mulai turun diufuk barat maka seluruh pasukan bergerak meninggalkan Gelgel menuju Klungkung tahun1677 M.
Setelah perang Gelgel berakhir berkisar tahun 1677 M I Dewa Agung Jambe dinobatkan menjadi Raja I Klungkung memerintah mulai tahun 1677 – 1742 M. dengan Keraton yang bernama Smarajaya/ Smarapura. Selama masa konsolidasi Raja disertai para pejabat baru telah membangun sebuah Keraton yang sangat megah dimana struktur Keraton Smarajaya meniru Keraton Majapahit yang ada dalam lontar Kertagama yang ditulis tahun 1363 M. Pada saat pembangunan Keraton Raja dibangun pula Puri untuk adik-adiknya (Kesatriya Sukahet) yang merupakan saudara misannya, dengan merekalah Ida I Dewa Agung Jambe membangun Kerajaan Klungkung.
Sistem Kerajaan yang akan dibangun ketiga saudaranya yaitu : I Dewa Peduhungan, I Dewa Negara, I Dewa Kereng bersama keturunannya nanti yang beliau sebut KSATRYA SUKAHET (bukan berarti keluar dari Ksatrya Dalem Sagening, karena hal ini dilakukan demi penghormatan kepada sang ibu, menjadi pelindung Raja dan Bencingah yang disebut Pekandel, serta dari keturunannya sampai nanti beranak cucu harus ada yang menjadi Manca (Bisama Raja I Dewa Agung Jambe). Untuk itu Ksatrya Dalem Sagening Ida I Dewa Sumretta yang menurunkan Kesatriya Sukahet (kita sebut Ksatrya Sukahet) saat itu hanya ada terdiri dari Ibunda I Gusti Ayu Sukahet, I Dewa Paduhungan, I Dewa Negara, I Dewa Kereng disertai abdi-abdi beliau.
Maka dibangun Istana/Puri disebelah utara Keraton Raja yang posisinya berhadapan dengan Keraton Raja, karena titah Raja adalah ”Wahai keturunanku dimanapun Raja berada, maka disanalah para Ksatrya Sukahet berada”.Dengan demikian tidak bisa dipungkiri pada saat itu Ksatrya Sukahet menempati strata yang terhormat setelah Raja.
Setelah Kerajaan normal maka Rajapun mulai menjalankan pemerintahan dengan penuh wibawa, dan kembali disegani oleh Raja-Raja asal Gelgel, Lombok dan Sumbawa, yang kembali mengakui kekuasaan Raja I Dewa Jambe sebagai sesuhunan Raja Bali dan Lombok tetapi  secara politik kekuasaan Raja Klungkung tetap tidak ada.
Untuk membangun Kerajaan Klungkung maka yang pertama harus dibangun adalah Parahyangan, maka dibangunlah Pura Penataran Klungkung, yang dijadikan sungsungan oleh seluruh masyarakat Klungkung. Pura yang dibangun oleh I Dewa Paduhungan beserta keluarganya disebut Merajan Agung Sukahet, status sebagai Merajan Kawitan dan Pedharmaan.
                                                        RAJA - RAJA DI BALI
RAJA RAJA DI BALI

                                 RAJA DI BALI
RAJA DI BALI

RAJA KLUNGKUNG : DEWA AGUNG 1908      RAJA KARANGASEM : A.A.GDE JELANTIK
RAJA KELUNGKUNG       RAJA KARANGASEM

                                       RAJA BULELENG : GUSTI NGURAH JELANTIK
                                     

                                  RAJA LOMBOK: A.A GDE NGURAH KARANGASEM    
                                               RAJA LOMBOK                     

                                      RAJA TABANAN XXIII : COKORDE NGURAH GEDE
                                                 COKORDE NGURAH GEDE

                   COKORDE PURI SATRIA : COKORDE NGURAH JAMBE PEMECUTAN
                                                 COK NGH JAMBE PEMECUTAN

                                                          COKORDE ALIT NGURAH
                                       COK ALIT NGURAH

                                                              PURI DENPASAR
PURI DENPASAR 1906

                                                     PRAJURIT BALI TAHUN1880
                                            PRAJURIT BALI  TAHUN 1880

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Kerajaan Bali Kuno

Sejarah dan Makna Tari Topeng Sidakarya