Pura -Pura di Bali II


PURA Dalem Penataran Ped di Nusa Penida itu adalah pura untuk memuja Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Purusa itu adalah kekuatan jiwa ataudaya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya.

Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa. Karena itu umat Hindu berbondong-bondong rajin bersembahyang ke Pura Dalem Penataran Ped untuk mendapatkan keseimbangan daya hidup, baik daya spiritual maupun daya fisikal. Karena hanya keseimbangan peran dan fungsi rohani dan jasmani itulah hidup yang harmonis di bumi ini dapat dicapai.

Pemujaan Tuhan sebagai pencipta unsur Purusa dan Pradana ini divisualkan dalam wujud pemujaan di Pura Dalem Penataran Ped. Visualisasi itu merupakan perpaduan konsepsi Hindu dengan kearipan lokal Bali. Di Pura Dalem Penataran Ped ini terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpenan. Arca Purusa-Predana inilah yang memvisualisasikan Kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan waranugeraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana).

Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan Batara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala. Di Pura Puncak Mundi Dewi Uma bergelar Dewi Rohani dan berputra Dalem Sahang. Pepatih Dalem Sahang bernama I Renggan dari Jambu Dwipa Kompyang, Dukuh Jumpungan. Dukuh Jumpungan itu lahir dari pertemuan Batara Guru dengan Ni Mrenggi, dayang dari Dewi Uma. Kama dari Batara Guru berupa awan kabut yang disebut limun. Karena itu disebut Hyang Kalimunan.

Kama Batara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murti dan menjadi manusia. Setelah diajar berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian oleh Hyang Tri Murti terus diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-temurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal sebagai I Mecaling. Inilah yang selanjutnya disebut Ratu Gede Nusa.

Ratu Gede Nusa ini berpenampilan bagaimana Batara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian Sejarah Pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan: Saat Batara di Gunung Agung, Batu Karu dan Batara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali diiringi oleh seribu lima ratus (1.500) orang halus halus (wong samar). Lima ratus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Gede Nusa atas waranugraha Batara di Gunung Agung. Batara di Gunung Agung memberi waranugraha kepada Ratu Gede Nusa atas tapa bratanya yang keras. Atas tapa brata itulah Batara di Gunung Agung memberi anugerah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan ajaran agama yang dianutnya.

Di Pura Dalem Penataran Ped ini Ida Batara Dalem Penataran Ped dipuja di Pelinggih Gedong, sedangkan Pelinggih Ratu Gede Nusa berada di areal tersendiri di barat areal Pelinggih Dalem Penataran Ped. Pelinggih Dalem Penataran Ped ini berada di bagian timur, sedangkan Pelinggih Padmasana sebagai panyawangan Batara di Gunung Agung berada di bagian utara dalam areal Pura Dalem Penataran Ped.

Di Pura Dalem Penataran Ped ini merupakan penyatuan antara pemujaan Batara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi. Jadinya Pura Dalem Penataran Ped itu sebagai pemujaan Siwa Durgha dan pemujaan raja disebut Pura Dalem. Sedangkan disebut sebagai Pura Penataran Ped karena pura ini sebagai Penataran dari Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha.

Artinya, Pura Penataran Ped ini sebagai pengejawantahan yang aktif dari fungsi Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha. Di pura inilah betemunya unsur Purusa dari Batara di Gunung Agung dengan Batari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur ciptaan Tuhan inilah yang akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut rambut sedana.

Upacara pujawali di Pura Dalem Penataran Ped ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Klawu. Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut pujawali Batara Rambut Sedhana. Pada hari ini umat Hindu diingatkan agar uang itu digunakan dengan sebaik dan setepat mungkin. Uang itu agar digunakan dengan seimbang untuk menciptakan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya. Uang itu sebagai sarana menyukseskan tujuan hidup mewujudkan Dharma, Artha dan Kama sebagai dasar mencapai Moksha.

Berdasarkan adanya Pelinggih Manjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyipenan dapat diperkirakan bahwa Pura Dalem Penataran Ped ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mendampingi raja memimpin Bali. Pura ini mendapatkan perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Dalem di Klungkung. Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan upaya Dalem Klungkung menyatukan Nusa dengan Bali.


Pura Luhur Batukaru
Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang Tumuwuh
 
Predikat yang disandang Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak terbantahkan lagi. Sepertinya disetiap jengkal tanah di Bali dapat ditemukan sebuah pura yang hanya dibedakan oleh status dan fungsinya. Salah satupura dari ribuan pura di Bali yakni Pura Luhur Batukaru. Pura ini terletak di kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan. Bagaimana sejarah pura yang berhawa sejuk itu? Berikut laporan wartawan Bali Post Asmara Putra yang dirangkum dari berbagai sumber.
Letak pura yang berjarak 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22 kilometer dari Kota Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar, dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh umat Hindu. Apalagi, sarana transportasi berupa jalan yang menuju pura dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini cukup baik. Pura dengan lingkungan hutan yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 24-32 derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari) memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm per tahun.

                                               
Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat pemujaan seluruh umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan di Bali dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan Hyang Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sebagai stana Hyang Tumuwuh.

Pada saat upacara piodalan/pujawali yang berlangsung setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis, Dungulan -- sehari setelah hari raya Galungan -- selalu dipadati umat Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat sudah banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari. Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede (empat banjar pakraman -- Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod, dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan.

Sejarah
                         
Kapan berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum diperoleh data secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber tertulis yang mengungkap keberadaan pura yang terletak di kaki Gunung Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti tak tertulis. Beberapa sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik terdapat di dalam pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.

Dalam buku ''Pura Luhur Batukaru'' terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober 1994, disebutkan A.J. Bernet Kempres pernah melaporkan adanya temuan berupa menhir di lereng Gunung Batukaru pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Setelah dilakukan penelitian beberapa waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.
Buktinya? Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu. Onggokan batu yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur Batukaru disebut Palinggih Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu merupakan medium pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi masyarakat setempat.
Pada zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah pemimpin yang disegani. Kepercayaan kepada roh leluhur umum pada saat itu. Masyarakat percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak gunung dan bukit yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara dengan baik maka hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah satunya dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru.

Minim
Sementara untuk bukti tertulis -- prasasti dan purana -- mengenai keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas keberadaan pura yang memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak ditemukan. Namun, ada beberapa sumber tertulis yang memuat secara selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun sumber kepurbakalaan lainnya.
Ketut Soebandi dalam bukunya "Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali" menyebutkan, lontar-lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku "Pura Luhur Batukaru" menyebutkan  beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana, Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan pura ini. Dalam hubungannya dengan sejarah pendirian pura ini, pada lontar-lontar disebutkan Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali.
Sementara mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat peninggalan berupa arca, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak. Sebuah arca kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di Beji. Arca seperti ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan, Kintamani.
Melihat coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode Bali Kuno sekitar abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura Luhur Batukaru ini dapat diduga berdiri pada abad XI. ''Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut, dapat memberikan petunjuk bahwa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman pemerintahan Raja Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali,'' tulis I Ketut Soebandi.

Melindungi Hutan Kewajiban Semua Pihak 
Pemeliharaan hutan pala di Desa Sangeh itu tidak bisa melupakan jasa I Gusti Agung Putu,pendiri Kerajaan Mengwidengan gelar Cokorda Sakti Blambangan. Putra angkat Raja Mengwi pertama ini menemukan reruntuhanpelinggih pemujaan di tengah hutan pala tersebut. Dari penemuan putra angkat beliau, Raja memerintahkan membangun kembali pelinggih tersebut dalam wujud lebih lengkap dan lebih besar. Pura  itulah sekarang disebut Pura Bukit Sari. Kenapa disebut Pura Bukit Sari?

========================================================== 
Raja nampaknya sangat paham akan sikap hidup orang Bali yaitu setiap memulai sesuatu yang baik selalu diawali dengan melakukan pemujaanDemikianlah Raja Mengwi pertama ini mengajak umat merehabilitasi tempat pemujaan di hutanpala itu sebagai langkah awal  untuk melakukan perlindungan dan pemeliharaanhutan pala itu sebagai sumber alam yang  mahapenting.
Dalam Canakya Nitisastra XIII.21 dinyatakan bahwa di bumi ini ada tiga RatnaPermata yaitu air, tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatandan katakata bijak. Air akan terpelihara apabila ada kawasan hutan yang ter pelihara dan terlindungi dengan sebaik-baiknyaDengan tersimpannya airmelalui hutan yang lestari maka tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Hutan dengan air dan tumbuhtumbuhan itu akanmenjadi sumber kehidupan umat manusia apabila dikelola dengan dengan air dan  kata-kata bijak. Hal ini akan terwujud apabila pemimpin seperti raja ataupemegang kekuasaan dalam pemerintahan itu bekerja secara terkoordinasi untuk membangun sinergi dalam menjaga tiga  Ratna Permata Bumi tersebut.
Ternyata kebijaksanaan raja membangun kembali tempat pemujaan yang disebut Pura Bukit Sari di hutan pala Desa Sangeh itu menimbulkan dampak positif memajukan sikap hidup masyarakat memelihara dan mengembangkan hutan pala dengan sebaik-baiknya.
Hutan pohon pala itu tidak saja berfungsi sebagai hutan dalam arti yang luas,sekarang hutan tersebut menjadi salah satu objek wisata alam yangmemberikan banyak kesejahteraan pada berbagai pihak. Lestarinya hutan pohonpala ini karena kebijaksanaan Raja Mengwi bersama dengan masyarakat menyebabkan hutan pohon pala itu semakin eksis.
Dari zaman penjajahan Belanda sampai sekarang hutan ini ditetapkan sebagaicagar alam yang mewajibkan semua pihak melindungimemelihara danmengembangkan gagasan-gagasan hidup yang baik dan benar melalui hutanpohon pala yang lestari itu. Karena adanya Pura Bukit Sari itulah hutan pohonpala itu menjadikan orang untuk menjauhi tindakan yang tidak senonoh padahutan tersebut.
Sikap masyarakat yang mensakralkan hutan pohon pala dengan keranya itumenjadi positif karena adanya Pura Bukit Sari di hutan tersebut. Hutan pohonpala tersebut kini telah menjadi objek wisata alam. Menjadi kewajiban kitasebagai generasi penerus menjaga hutan tersebut bersama dengan Pura BukitSarinya.
Kita hendaknya sadar bahwa hutan dengan puranya itu wajib kita jaga lebih kuatdengan berbagai ketentuan karena dinamika pariwisata dewasa ini menimbulkan banyak godaan agar kita tidak lalai memegang prinsip hidup seimbang antaraberbakti pada Tuhanmenyayangi alam dan mengabdi pada sesama.
Dalam buku Pancawatisalah satu kitab sastra Wedamenyatakan ada tiga jenishutan yang wajib dijaga keseimbangannya dan kelestariannya. Tiga jenis hutanitu adalah Maha WanaTapa Wana dan Sri Wana. Maha Wana itu adalah hutan lindung. Hutan ini harus benar-benar dijaga kuantitas dan kualitasnya. Kalaukuantitas dan kualitas Maha Wana ini terganggumanusia akan mengalamikrisis air, udara sehat dan berbagai sumber hidup alami yang lainnyaHal iniharus disadari oleh semua pihak. Luas dan kualitas hutan lindung ini tidak bolehsama sekali diganggu.
Tapa Wana adalah hutan hanya untuk tempat bertapa membangun kesucian diri.Di hutan ini hanya boleh ada tempat-tempat pemujaan yang dibangunsedemikian rupa untuk tidak menonjolkan bangunan  pisiknya, sehingga tetap yang menonjol adalah hutannya yang rimbunsejuk dan alami.
Sri Wana adalah hutan produksi untukmengembangkan tanaman pangan. Sri Wana ini hendaknya jangan dikembangkan dengan ambisi bisnis yang berlebihan mengejar untung sampaimengorbankan kelestarian alam itu sendiri.Pengembangan Sri Wana jangan sampaimenimbulkan ketidakadilan ekonomi. Sepertimengembangkan perkebunan dengan cara-cara kapitalisme yang ambisiusmencari profit tanpa memikirkan aspek benefitnya untuk kelestarian alam danmasyarakatKebutuhan pariwisata akan bahan pangan dapat saja dikembangkanlewat Sri Wanatetapi eksistensinya jangan sampai merugikan alam danmenimbulkan ketidakadilan ekonomi rakyat.
Dalam tradisi umat Hindu di Bali sudah dikenal adanya beberapa jenis hutan danlahan yang wajib dijaga keseimbangan posisi dan proporsinya. Dalam tradisi Baliada yang disebut alas angker yaitu hutan lindungAda yang disebut alas harumyaitu hutan untuk tempat pemujaanatau pertapaan yang dibangun dengan tetapmenjaga aspek-aspek alaminya. Ada juga alas rasmini yaitu hutan sebagai jalurhijau untuk pemukimanmungkin ini juga disebut hutan wisata. Ada areal yangdisebut abian dan carik utuk mengembangkan tanaman pangan yang dibutuhkanmasyarakat sehari-hari.
Posisi dan komposisi luas dan kualitas pembagian hutan dan areal tersebutdijaga keseimbangannya dengan konsep Rta dan Dharma. Di samping itu daerahBali yang sangat digandrungi oleh berbagai pihak harus dibatasi dengan berbagaicara yang benar agar Bali jangan sampai kelebihan muatanKalau Bali sampaikelebihan muatan bagaikan kapal  yang akan karam ditelan gelombang bisnis danpolitik yang mengabaikan etika moral. Berbagaiperilaku harus dibatasi agarjangan dengan Rta dan Dharma. Artinyamembangun Bali  jangan sampai melanggar Rta dan Dharma. Karena hal itu akan dapat menenggelamkan Balibagaikan kapal yang terlalu sarat dengan muatan. Bali harus dibangun denganmengikuti Rta dan Dharma ciptaan Hyang Widhi

Pura Geriya Tanah Kilap - Gelogor Carik - Denpasar
1Pelinggih Betara Siwa
2Pelinggih Betara Buda
3?
4Linggih Ratu Samar Bagus
5Linggih Ratu Gede Dalem Peed Nusa Penida
6Pelinggih Ratu Betari Lingsir
7Pesamuan Betara-betari
8Linggih Ratu Gede Taru Agung
Sareng Ratu Mas Manik
9Pelinggih Ratu Betara Segara
10Pelinggih Ratu Tri Sakti
11Pelinggih Ratu Betari Mas Melanting
12Bale
13Bale Pawedan
14Pelinggih Penyampuh Segara
15Bale Kulkul
16Bale Perantenan
17Linggih Betari Dewi Gangga
18Linggih Dang Hyang Sakti Wawu Rauh
19Kori Agung
20Taru Bingin
21Taru ?
22Pemedalan
TGenah Tirta
 
Pura Geriya Tanah Kilap - Gelogor Carik - Denpasar
Sejarah Pura versi Bali Post
Kini tersebutlah Danghyang Nirartha, seorang pendeta utama datang ke tanah Bali pada tahun Saka 1411 bersama istri dan putra-putranya, yakni: (1) Ida Ayu Swabawa, (2) Ida Kuluwan, (3) Ida Lor, (4) Ida Wetan, (5) Ida Rai Istri, (6) Ida Tlaga, (7) Ida Nyoman Kaniten. Adapun Danghyang Nirartha menaiki waluh kele / waluh pahit, istri dan putra-putranya menaiki perahu bocor. Karena kesaktiannya segera sampai di Bali, istirahat di bawah pohon ancak. Kemudian didirikan parhyangan bernama Pura Ancak. Ada bisama/ putusannya kepada keturunannya, tidak boleh makan waluh selama-lamanya.
Dikisahkan, perjalanan Danghyang Nirartha ke arah timur, tiba-tiba bertemu dengan seekor naga yang mengangakan mulutnya bagaikan goa. Masuklah beliau, ke mulut naga, dan di dalam ditemuinya telaga berisi bunga tunjung sedang mekar di dalamnya, ada yang putih, merah dan hitam. Lalu dipetik bunga-bunga itu.
Ketika beliau keluar dari perut naga, sirnalah naga itu, wajah Danghyang Nirartha berubah-ubah dan menyeramkan, terkadang merah, hitam, dan putih silih berganti. Itu sebabnya pucat istri dan para putranya melihat sang rsi. Kemudian terlihat istrinya Sri Patni Kiniten demikian juga putra-putranya. Tetapi Ida Ayu Swabawa terlihat paling akhir dalam keadaan pingsan, karena diperdaya oleh orang desa di Pagametan. Lalu marah sang Rsi seraya mengutuk orang Desa Pagametan menjadi wong samar bernama wong Sumedang berikut desanya disirnakan. Demikian kisahnya.
Adapun Ida Ayu Swabawa sirna sebagai dewa wong Sumedang, berstana di Pura Melanting disembah sebagai Dewi Pasar. Ibunda beliau Sri Patni Kaniten sirna di Pulaki menjadi Batari Dalem Pulaki. Demikian juga putrinya yang bernama Ida Rai Istri, ketika mengikuti perjalanan Danghyang Nirartha, lalu sirna di Alas Sepi bernama Suwung, disembah di Pura Griya Tanah Kilap, Desa Suwung Badung, bergelar Batari Lingsir atau Betari Ratu Niyang Sakti.
Catatan babadbali.com
Legenda di atas nampaknya perlu dikupas lagi apabila kita percaya adanya makna di baliknya. Naga yang ditemui Danghyang itu sebenarnya adalah kondisi spiritualisme masyarakat Bali pada saat itu, di mana beliau merelakan diri untuk masuk ke mulut naga itu, seakan pasrah untuk ditelan bulat-bulat. Di dalam mulut naga itu, beliau menemukan tiga aliran agama yang besar, yang disimbolkan oleh tiga warna bunga teratai yang dipetiknya. Beliau memetik dan mendalami ketiga ajaran utama itu hingga nampak sedemikian asing dan aneh bagi para keluarganya. Memang pengorbanan beliau tidak tanggung-tanggung, namun hasilnya seperti kita lihat sekarang. Masyarakat Bali dapat menyatu dalam keserasian pemujaan dan bakti karena arsitek spiritual seperti Danghyang Nirarta yang kita muliakan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Kerajaan Bali Kuno

Raja-Raja yang Pernah Berkuasa di Bali

Barong Landung dan Sejarah Barong Landung di Bali