Pura-Pura di Bali III
Pura Melanting Pulaki |
Dalam perjalanan berat Peranda Sakti Wawu Rauh di bumi Bali, istri beliau, Danghyang Biyang Ketut atau disebut juga Danghyang Biyang Patni Keniten dari Belambangan, yang kelelahan seakan tak kuasa lagi mengangkat kakinya. Beliau dalam keadaan hamil tua, seluruh persendian kakinya membengkak dan ngilu dan nyeri. Padahal perjalanan masih sangat jauh. Malang benar, Peranda Suci Nirarta yang bijak itu sempat terbimbang sesaat hatinya, ingin direlakannya mengorbankan waktu menemani, tetapi mengingat pentingnya perjalanan dilanjutkan menuju ke timur secepatnya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan belahan jiwanya sementara di tempat itu, ditemani salah satu putrinya, Dyah Ayu Swabawa. Putra-putrinya yang lain diajaknya serta karena mereka masih cukup kuat berjalan. Kelak sesampainya perjalan Danghyang di tujuan, akan diutusnya pengikutnya menjemput mereka. Jadilah Peranda istri ditemani sebagian pengikutnya, melepaskan lelah sampai sehat benar, membangun huma, berladang dan bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi suri tauladan masyarakat di daerah itu. Lama kelamaan warganya pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia kepadanya. Karena kesaktian dan kearifannya, warga menggagapnya sebagai Mpu Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu. Beliau melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Bagus Bajra, sesuai pesan ayahndanya. Putrinya, Dyah Ayu Swabawa pun semakin besar dan tumbuh menjadi putri yang sangat cerdas, bijak dan penuh pesona, dari wajahnya memancar wibawa kepemimpinan yang lebih dewasa dari umurnya. Di tangannya yang lembut, segala hal akan menjadi jauh lebih baik dan berguna. Jadilah beliau kesayangan masyarakat, tempat orang bertanya-tanya. Kecerdasannya nampak dalam ilmu berdagang. Salah satu nasihatnya ialah memikat pembeli dengan membantu mereka memilihkan barang-barang, hanya yang terbaik untuk pembeli, bahkan sebelum pembeli itu datang dan sebelum barang itu dibelinya, niscaya mereka akan kembali lagi, dan menjadi pelanggan yang setia. Daerah tempat Dyah Ayu Swabawa dan ibundanya tinggal itu kian ramai dikunjungi saudagar dari tempat lain, jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena masyarakat senang berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan utusan ayahnya menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah Ayu hampir tiap hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun menerawang tempat yang jauh menantikan munculnya utusan itu. Akhirnya orang-orang memberinya sebutan yang hormat dan sayang dengan Dyah Ayu Melanting, sedang ibundanya, tempat orang bermohon nasihat dan pertolongan disebut dengan Empu Alaki, artinya orang arif yang bersuami, walau suaminya sedang bepergian jauh. Waktu terus berlalu, rupanya terjadi salah paham. Peranda Istri putus asa menantikan pertemuannya kembali dengan tambatan hatinya, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat dicintainya. Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan perpisahan yang telah lalu, sehingga pada puncaknya, beliau menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada Dewata agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan menunggu tanpa termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang berat. Peranda Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan sang kala, luput dari penuaan dan kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang lain. Dewata menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang lain tidak iri hati melihatnya abadi. Kilat menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada badai, warga Mpu Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang. Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian. Ida Peranda Sakti Wawu Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru menyadari hal ini setelah beliau juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang sepi... Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang putri yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya yang termuda, pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara. Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai Ratu Niyang Lingsir yang pemurah, Dewayu Melanting yang bijak dan Ida Bagus Ratu Samar. Walau telah moksah, Dyah Ayu Melanting tetap menyayangi dan melimpahi berkat untuk para pedagang yang mau memilihkan barang dagangan terbaik untuk pelanggan dan calon pelanggannya, di mana pun mereka berjualan, dibantu oleh Batari Manik Muncar yang melindungi kejujuran transaksi. Untuk pedagang yang melanggar hukum itu, walau tak pernah tertulis, jangan harap akan mendapat kasih dan karunia dari beliau. Pura Agung Payogan Kutai
Pura Payogan Agung, Kutai sendiri memiliki nilai historis. Pemangku Pura Payogan Agung IB Dwijatenaya memaparkan, pura ini diresmikan tahun 1998. Pembangunannya sebagian ditanggung pemda setempat (Rp 1,2 milyar), plus dana punia dari umat Hindu se-Tanah Air, termasuk dari Bali. Bahkan, pria kelahiran Tabanan yang juga dosen ini mengaku Bali Post ikut berperan dalam sosialisasi tahapan pemugaran Pura Payogan Agung, Kutai.
Pura Payogan Agung Kutai
Made Santha dari Satriavi Balikpapan memaparkan, pura ini punya nilai historis, bukan saja bagi umat Hindu setempat, melainkan bagi umat Hindu di seluruh Nusantara. Betapa tidak, Kutai merupakan suatu daerah yang pertama mendapat pengaruh Hindu di Indonesia. Periode pengaruh Hindu India adalah masa kedatangan para pedagang dan Brahmana India.
Dalam sejarah disebutkan, pada abad ke-4 Masehi, ada sebuah berita dari India yang menyebut kata Queetaire yang diduga berasal dari Kutai Kertanegara yang berarti hutan belantara. Bukti adanya relasi India-Kutai diperkuat dengan ditemukannya peninggalan prasasti berupa tiang batu (Yupa). Isi prarasti berupa peringatan upacara kurban kepada para Brahmana berupa antara lain ribuan ekor lembu.
Daerah Kutai adalah daerah yang dilintasi garis kathulistiwa, garis tengah bumi. Ilmu perbintangan Hindu (Jyotisha) sangat memperhatikan posisi alam semesta seperti posisi matahari, bulan dan bumi dalam garis lurus. Artinya, ketika bulan dan matahari tegak lurus di atas kathulistiwa dipilih oleh umat Hindu saat itu untuk melaksanakan upacara-upaya tertentu, seperti Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya.
Para Brahmana sangat sentral perannya dalam membangun Kerajaan Kutai Kertanegara yang raja pertamanya adalah Kudungga. Kemudian lahir putra mahkota Aswawarman yang menjadi raja kedua dengan tiga orang putra yang satu di antaranya bernama Mulawarman. Kelak, Mulawarman merupakan penerus tahta Kutai Kertanegara. Pada masa pemerintahan Mulawarman-lah, Kutai mengalami kejayaan dan rakyatnya makmur.
Saat itu dibangun tempat ibadah berupa pura di berbagai tempat. Kendati Pura Payogan Agung, Kutai yang berdiri kini letaknya tidak persis di pusat bekas Kerajaan Kutai Kertanegara, namun lokasi yang dipilih tetap istimewa. Ini sebagai penanda bahwa sembilan abad, sampai abad ke-13 (saat pemerintahan Darma Setia), kerajaan Hindu pernah berjaya di Kalimantan yang pengaruhnya kala itu sampai ke pelosok Nusantara.
Lembu Suana, Simbol Kota Tenggarong
Kemasyuran Kerajaan Kutai Kartanegara pernah setara dengan Majapihit dan Mataram. Namun akhirnya pameo usang: tiada yang abadi di dunia ini akhirnya terjadi pula pada kerajaan Hindu yang berpusat di Kaltim itu. Setelah berjaya hampir 13 abad sejak Kudungga, raja pertama, dengan puncak keemasan di era Mulawarman — raja ke-3 — Kutai Kartanegara akhirnya perlahan redup.
Pada saat mulai redupnya Kerajaan Kutai Kartanegara Mulawarman berpusat di Muara Kaman, pada abad ke-13 berdiri pula kerajaan baru bercorak Hindu Jawa di hilir Sungai Mahakam. Namanya Kutai Kartanegara Kertanegara dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti. Seiring dengan perjalanan waktu, sebagaimana kisah raja-raja Nusantara lainnya, terjadi saling serang dan saling takluk.
Perang dahsyat antara Kutai Kartanegara Mulawarman yang saat itu dipimpin Darma Setia dari dinasti ke-27 dengan Kutai Kartanegara Kertanegara yang dipimpin Aji Sinum Panji tak bisa dielakkan. Perang yang memakan banyak korban itu berakhir dengan kekalahan Darma Setia. Kejayaan Kutai Kartanegara Mulawarman yang terukir sepanjang 13 abad pun terkubur bersama kusuma kerajaan.
Aji Sinum Panji kemudian melebur negeri taklukannya menjadi Kutai Kartanegara Kertanegara dengan pusat di Jahitan Layar, yang kini disebut Kutai Kartanegara Lama. Setelah Raja Aji Sinum Panji wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada Dipati Agung (1635 – 1650). Singkatnya, secara turun-temurun keturunannya memimpin sampai yang terakhir Sultan A.M. Parikesit (1915-1960).
Sejak tidak diakuinya kesultanan dalam struktur birokrasi RI, keturunan AM Parikesit akhirnya tak memperoleh kekuasaan secara formal. Kendati demikian, jejak Kerajaan Kutai Mulawarman dan Kutai Kertanegara tetap dikenang dan hadir di hati warga Kutai Kartanegara sampai kini. Bila kita berkunjung, prasasti berupa Yupa era Mulawarman bersama peninggalan sejarah lainnya masih bisa disaksikan di Museum Mulawarman, Tenggarong.
Hormati Leluhur
Yang menarik, masyarakat dan pemda setempat tampaknya sungguh menyadari sejarah masa lalunya. Kendati sisa-sisa keturunan langsung raja Hindu Kutai Kartanegara tak lagi ditemukan, masyarakat setempat yang kini mayoritas beragama Islam (yang beragama Hindu hanya 30 KK, itu pun semua pendatang) tetap menghormatinya. Antara lain membatu sepenuhnya dalam pemugaran Pura Payogan Agung dan menetapkan Lembu Suana sebagai simbol Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara.
Kini, patung Lembu Suana dalam ukuran besar berdiri megah di Pulau Kumala, suatu delta di tengah Sungai Mahakam yang disulap jadi kawasan wisata. Patung Lembu Suana berwarna legam keemasan di Pulau Kemala, Kutai Kartanegara itu merupakan buah karya pematung kawakan kelahiran Bali, Nyoman Nuarta. Elok dan artistik sekali jika dipandang dari menara putar (sky tower) di ketinggian 80 meter.
|
Komentar
Posting Komentar