Intisari Pemikiran Ida Pedanda Gede Made Gunung 1
APAKAH DOSA ITU BISA DI TEBUS ?
Om Swastiastu.
Saudara-sadaraku yang berbahagia, setiap hari rasanya saya ingin berkomunikasi dengan anda, karena saya merasakan sesuatu yang banyak saya dapati melalui komunikasi kita. oleh karena itu sekarang saya ingIn menyampaikan sesuatu yang sering saya dapati saat memberikan Dharma Wacana berupa pertanyaan. Dari sekian banyak yang menanyakan pertanyaan sejenis maka terketuk hati saya untuk menulis di media ini, guna dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan sesama kita. Dan dari sekian penanya juga saya sangat tertarik untuk menyimpulkannya walaupun kemungkinan kesimpulan saya ini tidak benar seratus persen. Namun ada baiknya juga kita pahami bersama, guna dapat pemahaman yang senada dan dapat meningkatkan Sradha Kita sebagai pemeluk agama Hindu. Kesimpulan saya sementara; masih banyak dari kita belum tau tentang DOSA, dan bagaimana DOSA itu terjadi, serta apa yang bisa kita lakukan atas dosa itu? Untk itulah saya memberanikan diri untuk mengulasnya seklumit disini, mudah-mudahan ada manfaatnya.
DOSA.
Dosa adalah sesuatu yang didapati atas dasar prilaku yang melanggar norma-norma agama, norma-norma keyakinan terhadap Tuhan, norma-norma hukum yang berlaku,dan norma-norma sosial.
Disini akan diuraikan Dosa atas pelanggaran norma-norma tersebut diatas dari sudut ajaran agama Hindu. Tujuannya adalah agar saudara-saudara saya yang meyakini dan memeluk agama Hindu tidak salah memahaminya.Selanjutnya dapat mengindari sebanyak mungkin hal-hal yang dapat menimbulkan dosa di dalam hidup ini, sehingga tujuan hidup kita bisa semakin dekat dapat kita capai.
Terjadinya dosa itu diawali oleh PAPA arti bebasnya adalah kegelapan, Papa ini terjadi karena adanya KLESA, yang artinya kekotoran. Setelah keduanya itu ada pada kita maka dosa itu pasti terjadi atau pasti kita dapati. Disini saya akan mencoba memberikan contoh, yang bertujuan lebih memperjelas pengertian. Contoh; Seseorang yang berjalan di jalan yang gelap dan ditambah lagi kaca mata yang dipakai kotor berdebu,maka dia akan kesandung kakinya. Nah; Jalan gelap itu contoh dari Papa, Kaca mata kotor itu contoh dari Klesa, dan kesandung itu adalah contoh dari Dosa. jadi kita yang punya pikiran terlalu banyak klesanya sehingga terjadi gelap pikiran, maka dosa itu akan sangat gampang mewarnai hidup kita. Sehingga kesadaran semakin hilang dan hidup ini semakin jauh dari tujuannya. Akhirnya kita dapat dikatagorikan hidup sia-sia atau dikatakan tidak mampun memaknai hidup ini. Demikianlah secara singkat dapat saya jelaskan tentang dosa dan terjadinya dosa itu sendiri.
APA YANG MENJADI PENYEBABNYA SEHINGGA TERJADI PAPA DAN KLESA ITU?
Papa dan klesa itu bisa terjadi karena ketidak yakinan kita terhadap Tuhan dengan segala ajaran Dharmanya. Lalu siapa yang bisa mengukur keyakinan seseorang? Yang bisa mengukur dan mengetahuinya adalah mereka sendiri, orang lain tidak mungkin bisa tau. Apa lagi banyak orang yang pinter bertiori agama, bertiori Ketuhanan, dan Banyak pula ada yang menganggap dirinya paling berkeTuhanan, sangat sulit untuk mengukurnya. Terjadinya papa dan klesa itu disebabkan ketertarikan mereka atas benda keduniawian, dan sampai mengikat hidupannya. Walaupun mereka sudah tau bahwa manusia diajarkan tertang; Dharma, Artha, dan Kama. Kalau di dalam hidupnya mereka masih mengikuti kemauan artha dan kama, akhirnya muncul salah satu pemikiran dari sepuluh pemikiran yang dilarang ( ajaran Dasa Sila atau ajaran Karmapatha) yaitu; MENGINGINKAN MILIK ORANG LAIN. Pemikiran seperti inilah yang dapat dikatagorikan sebagai bibit unggul dari papa dan klesa.
Apa bila pemikiran ini ditindak lanjuti melalui pelaksanaan, seperti misalnya; Mencuri, merampok, korupsi, berselingkuh, dan sebaginya tindakan yang sejenis dengan itu Nah disitulah disebut dosa. Maka dari itu bila di dalam hidup ini kita mendekat kepada artha dan kama, maka dharma akan semakin jauh, dan bila kita mendekat dan menjadikan dharma itu sehabat sejati, maka artha dan kama akan datang sesuai hasil seleksi dari Dharma itu sendiri. Banyak lagi akan terjadi dosa-dosa yang diakibatkan oleh papa dan klesa, selama kita tidak mampu bersahabat dengan Dharma. Memang hal ini sangat mudah diucapkan, namun asal ada kemauan secara pelan dan pasti akan bisa kita lakoni, dan lama kelamaan menjadi gampang.
APA DOSA ITU BISA DITEBUS?
Nah disinilah letak pokok uraiannya saya. Pertanyaan seperti ini seringkali saya dapati. sebab kelihatannya penebusan dosa itu adalah kata yang tepat. Ya mungkin kalau dilihat dari keyakinan lain. Namun didalam keyakinan Veda yang di jabarkan melalui itihasa Mahabaratha, kelihatannya DOSA ya tetap DOSA. Contohnya Yudistira: Dosanya hanya sedikit yaitu membilang " Aswatama mati... tapi g...a...j...a..h", sebegitu saja kesalahannya dosanya dinikmati dialam sana yaitu kaki Yudistira tenggelam dilumpur neraka. Nah kalau begitu kalimat apa yang dipakai untuk menggantikan " penebusan dosa " itu. Menurut saya ; Dosa tetap dosa, namun dosa dapat diimbangi dengan prilaku yang baik dan benar menurut ajaran Agama (Tuhan).
.....IKANG ASUBHAKARMA TINENTASAKEN DE SUBHAKARMA MANGKANA KRAMNANING DADI WWANG..... kurang lebih demikian saya penah baca di dalam kitab Sarasamuscaya yang di tulis oleh Bhagawan Wararuci, ini sebuah kitab kesayangan saya. Selanjutnya saya akan memberikan sebuah ilustrasi; JIKA KITA MENEBUS BPKB. KITA AKAN DAPAT BPKB. JIKA KITA NEBUS SERTIPAKAT TANAH, KITA AKAN DAPAT SERTIPIKAT TANAH. JIKA KITA NEBUS DOSA KITA AKAN DAPAT DOSA. Kalau begitu untuk apa menebus dosa, kitapun tidak merasa pernah menggadaikan dosa, Kalau di umpamakan kebenaran itu (tidak dosa) segelas air jernih, maka dosa itu setitik tinta. maka jika tinta setetes mengenai air jernis segelas tadi, maka warna air akan biru. maka untuk menghilangkan warna biru, bisa ditambah air jernih terus sampai hilang warna birunya. Tetapi bila kita bawa ke laboratorium air itu, unsur-unsur zat tintanya masih, tidak akan hilang. Demikian pula orang yang pernah kesandung kakinya, akan tidak pernah lupa akan peristiwa itu.
Yang bisa dihilangkan di dalam hidup ini adalah Papa dan Klesa itu dengan cara mengikuti ajaran keTuhanan dengan yakin, tekun dan desiplin. Kalau papa dan klesa sudah hilang (kotoran dan gelap hilang), maka dosapun tidak akan berani mendekat. Jangan lupa; ..... Papaham papa karmaham, papatma papa sambawah.............. tolong camkan maknanya.
Demikanlah uraian saya mudah-mudahan ada manfaatnya.
OM SANTHIH,SANTHIH, SANTHIH SANTHIH, OM.
ODALAN SAAT HARI SUCI NYEPI
Om Swastiastu.
Oleh karena banyaknya umat yang bertanya tentang odalan baik di Pura maupun di Merajan saat Nyepi, maka saya pandang perlu menulisnya disini agar semua Umat yang membaca tulisan ini dapat memahaminya.
Dalam hal ngodalin disaat nyepi itu paling tidak ada 3 masalah yang semestinya dipahami yaitu; Perbedaan tahun saka dengan tahun masehi dan pengertian Wuku dan sasih dalam tahun saka.
1. Waktu dalam satu hari dalam tahun masehi. Awal hari-hari dalam tahun masehi dimulai jam 00.00 ( setelah jam 12.00 malam. dan berakhir jam 12.00. Artinya; Misalnya hari Kamis, mulainya hari Kamis dari jam 00.00 tadi malam, sampai jam 12.00 (jam24.00) nanti malam.
2. Waktu dalam satu hari dalam tahun saka. awal hari-hari dalam tahun saka dimulai Jam 06.00 (galang tanah/ngedas lemah). dan berakhir jam 06.00 besoknya. Artinya; hari Weraspati, mulai dari jam 06.00 pagi, sampai jam 06.00 besok pagi.
3. Perhitungan wuku dengan tanggal pangelong itu sewaktu-waktu pasti akan bisa bertemu. Umpamanya Buda Kliwon Dunggulan pasti nanti bisa bertemu dengan penanggal pisansasih ke dasa (Nyepi). sebab wuku perhitungannya 6 bulan sekali dan sasih perthitungannya setahun sekali (tahun saka).
Jadi ada perbedaan antara Kamis dan Weraspati, karena dasar tahunnya berbeda. Sehingga Nyepi itu dasarnya tahun saka, maka harus mengikuti jam hari tahun saka. Kalau ada yang ngodalin bertepatan dengan hari nyepi, lalu dia melaksanakan odalan itu pada malam sebelum Nyepi jam satu malam. Melihat defenisi diatas, maka melakukan odalan seperti itu sangat kurang tepat. sebab itu masih dalam perhitungan hari Nyaga-nyaga atau hari pangrupukan.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Jalan keluarnya adalah;
1. Jangan ngodalin.
2. ngaturang pejati di Pura atau dimerajan yang akan ngodalin saat hari pangrupukan, mapiuning bahwa odalan tidak dilaksanakan karena odalan bertepatan dengan Hari Suci Nyepi.
Apa dasarnya? dasarnya adalah;
1. Nyepi itu harus dilaksanakan dengan catur bratha panyepian, yang harus dilakoni oleh semua umat Hindu di Nusantara.
2. Hari suci nyepi itu merupakan kepentingan umum. Kepentingan umum harus ditaruh diatas kepentingan pribadi, kepentingan klompok dan kepentingan golongan.
3, Sebagai bangsa Indonesia harus tunduk kepada peraturan Pemerintah. Sebab hari Nyepi sudah diakui sebagai libur Nasional, kita harus hormati dan membanggakannya.
Bagaimana akibatnya kalau tidak ngodalin? Akibatnya yang negatif rasanya tidak ada karena, yang membikin odalan itu bertemu dengan nyepi adalah perhitungan Bhatara juga. Yang memberi tata aturan tentang penyepian adalah Bhatara juga. Akibat positifnya adalah; dengan tidak ngodalin kita dapat melaksanakan catur brata pantepian dengan khusuk. Dan dari segi ekonomi kita bisa menahan biaya yang harus keluar, biaya tersebut bisa digunakan untuk odalan yang akan datang.
Demikan pula tentang ngotonin anak, ngotonin harus mengikuti perhitungan tahun saka, tetapi yang ingin melakukan ulang tahun itu mengikuti perhitungan tahun masehi.
MARILAH KITA MULAI MENCARI KEBENARAN DENGAN MENGHENTIKAN KEBIASAAN MENCARI PEMBENARAN.
Mencari pembenaran untuk menutupi kebodohan
Kadang-kadang tidak sampai terpikirkan untuk menilai perbuatan kita sehari-hari, apakah yang telah kita lakukan itu sudah benar atau salah? Sangat jarang berpikir sampai kesana. Karena adanya anggapan bahwa, apa yang dilakukan dan menyenangkan diri sendiri atau dapat memenuhi kepentingan mereka, itu yang dianggap benar. Walaupun untuk menutupi kecurangan atau kesalahannya mereka bersusah payah mencarikan pembenaran, baik dengan cara menyitir bunyi-bunyi ayat-ayat suci, maupun mencarikan pasal-pasal yang diperkirakan mendukung, dipaksakan untuk digunakan sebagai penguat, agar pendapat itu menjadi kelihatan benar, untuk bisa mendapatkan kepercayaan publik. Kelihatannya hampir semua berbuat seperti itu. Membungkus kesalahan dan kecurangan dengan kemasan pembenaran.
Ada satu contoh yang layak ditampilkan untuk mengungkap peristiwa mencari pembenaran tadi. Di salah satu Desa Pakraman anggota masyarakat rutin mengadakan penjagaan di pura. Untuk menghindari pencurian benda-benda sakral (makemit). Penjaga atau ’pekemitan’ itu syaratnya harus begadang, baik dilakukan secara bergilir, maupun dilakukan secara bersama-sama dalam satu kelompok (regu) ”pekemitan” itu. Nah untuk menghilangkan rasa ngantuk, mereka sepakat bermain judi (maceki) di pura. Kalau ada yang menasihati, mereka akan mencari pembenaran atas tindakannya, dengan cara mengatakan untuk menghilangkan rasa ngantuk agar dapat begadang sampai pagi, jika ada maling bisa cepat kentara. Sepintas kelihatannya apa yang mereka lakukan itu sangat benar. Tetapi sangat jauh dari kebenaran sejati.
Kalau kebenaran yang dicari semestinya mereka tidak bermain judi di pura, karena judi jelas-jelas dilarang oleh agama, apalagi dilakukan di pura sangat menodai kesucian agama. Semestinya mereka melakukan kegiatan yang berbau Suci.
Nah terjadinya tindakan-tindakan yang bertolak belakang dengan ajaran agama bisa berjalan terus, sampai tidak ada yang berani melarang, aparat kemanapun kadang-kadang dibuat kurang tegas (seperti menindak tajen), karena kepintaran mereka mencari pembenaran. Dengan cara mengatakan tajen itu adalah tabuh rah, kalau tidak diadakan tajen akan terjadi peristiwa yang sangat mengerikan serta didukung oleh kerauhan. Terbungkuslah kesalahan itu oleh pembenaran dari mereka.
Ada lagi peristiwa yang paling memalukan, yaitu; seorang koruptor juga sering mencarikan pembenaran tindakan korupsinya dengan cara menyumbang ke pura, baik berupa pembangunan pelinggih maupun sumbangan (punia) lainnya, yang mana mereka mengharapkan agar kelihatan paling dermawan di mata masyarakat, atau tindakan jahatnya mendapat pengampunan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sumbangan merekapun tidak tanggung-tanggung nilainya sampai puluhan bahkan ratusan juta, masyarakat dibuat sangat gembira dan hormat kepada sang koruptor, karena mereka rasakan nilai sumbangannya sangat besar, tetapi mereka belum tahu bahwa uang yang dikorup nilainya milyaran rupiah. Dilihat dari nilai sumbangannya sama sekali tidak ada artinya.
Tindakan-tindakan seperti inilah yang paling banyak terjadi dewasa ini. Selain itu kerap terjadinya perselisihan dan pertengkaran di dalam keluarga maupun di masyarakat akibat munculnya saling mencari pembenaran demi kepentingan mereka masing-masing. Jika begini keadaannya terus apa lagi yang dapat diharapkan. Masihkah ”kata jujur” itu perlu didengungkan, kecuali digunakan sebagai kedok didalam melancarkan aksi jahat mereka. Jangan biarkan segumpal awan hitam menutupi matahari menghambat sinar menerpa bumi, kegelapan akan muncul menuntun kita kearah jurang neraka. Hentikan langkah mencari pembenaran, carilah kebenaran bagai menghapus awan hitam membuka celah sinar matahari menerpa bumi.
Sadarlah bahwa matahari jauh lebih besar dibanding awan yang menutupinya, hanya saja jarak awan lebih dekat ke kita dibandingkan jarak matahari ke kita. Taruhlah kesadaran di atas awan dengan cara meletakan kebenaran di atas pembenaran.
Semakin mendekat kesinar, akan semakin jelas pandangan kita, semakin mudah pula membedakan antara yang benar dengan yang salah. Jika semakin dekat ke gelap, akan semakin tidak mampu pikiran untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Kebodohan jangan diselimuti dengan pembenaran, hilangkan selimut pembenaran tuntunlah kebodohan itu melalui kebenaran agar semakin terang jalan yang dilalui dan semakin pasti pula tujuan yang akan dicapai.
Tujuan agama adalah kebenaran, karena Ida Sang Hyang Widhi maha benar. Beliau adalah tujuan hidup kita, mungkinkah kebenaran itu akan dicapai hidup melalui pembenaran? Jangan terlalu lama menghayal, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan yang sia-sia, lihat dirumu berapa harikah ijin hidupmu masih berlaku?
Matahari telah condong ke barat, sebentar lagi akan tenggelam, siang diganti malam. Mengapa kami tidur terus, bangunlah lepaskan selimut judi, selimut mabuk, selimut narkoba, selimut selingkuh dan selimut-selimut kotor lainnya. Demikian pula kacamata angkuh, kacamata sombong, kacamata egois, dan semua jenis kaca mata yang sejenis lepaskan.
Pakailah selimut kebenaran dan kaca mata hati nurani dengan lensa budhi suci, kamu akan dapat merasakan sejuknya udara Dharma, dan dapat menikmati indahnya pemandangan Niwana.
Jika tindakan mencari pembenaran tidak dapat dihentikan, akan bermunculan orang-orang munafik, alam ini akan menjadi kerajaan munafik, mereka akan menyembah kemunafikan dan mengagung-agungkan munafik sebagai penyelamat hidupnya. Untuk itu perlu juga kita merenung sejenak, apakah kita adalah keturunan munafik? Apakah leluhur kita adalah orang-orang munafik? Apakah kemunafikan ini akan kita wariskan kepada keturunan kita nanti?
Saya dapat menebak bahwa tidak ada di antara kita yang setuju menjawab pertanyaan tersebut dengan kata ya. Nah bila saudara setuju dengan pendapat tadi, marilah kita tulis lembaran hidup ini dengan tinta emas dan tulisan indah, mencatat kisah-kisah cinta terhadap Sang Pencipta, goresan kasih dan sayang sesama makhluk ciptaaNya. Baca dan pahami rambu-rambu jalan menuju Sang Pencipta, yang telah terpasang rapi dan jelas dapat di baca. Mohonlah tuntunan kepada beliau yang memiliki pemahaman dan pengalaman membaca rambu-rambu tersebut. Jangan kecewakan para leluhur terdahulu, jangan dibuat malu keturunan kita nanti.
Ada sebuah cerita pendek yang mengisahkan orang bodoh. Si bodoh memang sejak kecil mereka tidak mau belajar, tidak mau bertanya kepada siapapun, awalnya dia menganggap kepintaran dan kebijaksanaan itu akan datang sendiri, karena itu merupakan hak seseorang yang harus mereka dapati tanpa perlu berusaha. Mungkin karena karma wesananya diwaktu hidup jaman lampau bagus, maka dalam hidup dia sekarang dapat menikmatinya. Dia menjadi kaya raya, namun menghitung uang dia tidak tau. Oleh karena dia kaya maka di dalam lingkungannya dia sangat disegani dan dianggap seorang tokoh. Begitu besar kepercayaan masyarakat terhadap dirinya, semakin angkulah mereka. Sampai masalah tatanan kehidupan beragama mereka tangani sendiri, dan tetap tidak mau belajar, sebab menganggap diri selalu benar. Kesenjangan yang terjadi dalam pikirannya seperti itu mereka tutupi dengan mencarikan pembenaran.
Saya masih ingat dengan bunyi sloka dalam buku NITI SATAKA, ada tertulis bahwa; Orang bodoh yang berpura-pura seperti orang pintar; Dewa Brahma pun tidak mampu mengajari mereka.
Kisah singkat ini dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa mereka yang selalu mencari pembenaran akan sulit diarahkan atau diajarkan untuk bisa merubah arah menuju kebenaran. Dewa Brahma sulit mengajar mereka apalagi kita sesama manusia.
Maka dari itu jangalah sampai terlanjur hidup ini hanya untuk mencari pembenaran, agar jangan kita menjadi orang yang sulit menerima ajaran.
Agama Hindu Mengajarkan Umatnya Agar Dapat Memanusiakan Alam
Masih banyak orang-orang yang kurang mengerti tentang hidup, sedangkan mereka dapat mengatakan dirinya sedang hidup. Ada pula yang memberikan definisi hidup itu adalah bergerak. Jadi setiap yang bergerak itu hidup, sepertinya benar juga. Tetapi kemungkinan salahnya pasti ada juga, itu sangat tergantung dari sudut pandang kita. Dari mana kita memandangnya penilaian kita pasti mulai dari sudut itu.
Pikiran saya selalu dibayangi oleh setumpuk kata-kata seperti itu. Setiap saat saya merenungkan hidup ini. Apa sebenarnya hidup itu? Didalam sebuah buku saya pernah membacanya; Bahwa hidup ini tidak ada lain adalah kesempatan emas untuk berkarma. Karma itu ada dua yaitu karma baik (Subhakarma), dan karma yang tidak baik (asubhakarma). Jadi dalam hidup ini pasti dan harus seseorang itu berkarma, apa itu karma yang baik maupun karma yang tidak baik. Kembali saya berpikir apakah saya ini telah berkarma baik?
Menentukan suatu karma baik maupun tidak baik ada pedomannya, yang saya maksudkan pedoman itu adalah ajaran agama. Apabila perbuatan saya itu telah sesuai dengan ketentuan ajaran agama, sudah pasti karma saya itu tergolong baik dan karma saya disebut jelek atau buruk, apabila perbuatan saya tidak sesuai dengan ajaran agama, itu sudah pasti. Gejolak pikiran saya seperti itu membuat saya sering merenungkan hidup ini.
Pada suatu ketika, saya membayangkan bila saya dapat berbuat yang sesuai dengan ajaran agama (Hindu), betapa bahagianya hati saya, rasanya sorga itu berada di depan mata. Apalagi dalam ajaran agama Hindu sangat menekankan pada keseimbangan hidup. Bahwa hidup yang seimbang itu akan membawa kebahagiaan. Kata seimbang ini lama sekali menjadi renungan dalam hati saya.
Suatu ketika saya mengalami naik pesawat udara, di dalam pesawat waktu terbang di udara, disitu saya dapatkan contoh keseimbangan. Pesawat itu dapat atau bisa mencapai tujuan, faktor utamanya adalah keseimbangan. Dapatkah kita bayangkan jika pesawat udara itu terbang tanpa keseimbangan, bagaimana jadinya? Jangankan dapat mencapai tujuan, tinggal-landaspun sangat sulit. Demikikan pula kita, untuk mencapai tujuan harus menjaga keseimbangan hidup. Apalagi mencapai tujuan hidup seperti yang termuat dalam ajaran agama Hindu yaitu; MOKSARTHAM sangat ditentukan oleh mampu atau tidaknya kita menjaga keseimbangan hidup. Demikian sekilas renungan saya di dalam pesawat, yang selalu membayangi pikiran saya.
Selanjutnya sampailah pikiran saya terpatok pada kata keseimbangan. Banyak orang tahu mengatakan seimbang-seimbang, tapi masih sedikit orang yang mampu mempraktikan atau mencari seimbang itu. Apa sebenarnya seimbang itu? Dalam diri kita apanya yang perlu diseimbangkan? Berhari-hari bahkan berbulan-bulan saya memikirkan kata seimbang itu, mungkin di antara saudara-saudara pembaca ada yang berpikir seperti saya? Oleh karena kata-kata itu selalu menghiasi pikiran saya, sehingga hampir setiap ada kesempatan saya melihat kepustakaan, baik itu buku maupun kepustakaan lontar. Akhirnya saya ketemu jawabannya. Walaupun tidak tersurat, namun tersirat ada jawabannya.
Manusia diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, diberikan kelebihan jika dibandingkan dengan makhluk lain ciptaannya. Kelebihan yang dimaksud adalah, manusia diberikan lebih yaitu idep (pikiran). Semestinya dengan memiliki idep manusia dapat mengatur/manata alam beserta isinya demi kesejahtraan hidup manusia sendiri. Fungsi pikiran seperti ini masih tidak banyak diketahui oleh manusia, sehingga mereka menggunakan pikirannya tidak berlandaskan tatanan yang telah digariskan oleh ajaran agama. Sangat sulit akan mendapatkan kebahagiaan sejati. Paling-paling yang akan didapat adalah kebahagiaan yang semu (palsu). Karena cara mendapatkan kebahagiaan sejati tidak diketahui.
Banyak di antara kita salah sangka, ada yang menyangka kebahagiaan itu disebabkan karena banyak uang, akhirnya mereka sibuk mengejar uang. Adapula yang mencari kebahagiaan itu dengan cara mengumbar nafsu (yang laki nyari perempuan sebanyak-banyaknya, yang perempuan juga nyari laki sebanyaknya). Akhirnya bukan bahagia yang didapat bahkan sengsara yang ditunai. Kejadian seperti inilah yang saya amati di tengah-tengah masyarakat, merupakan contoh ketidaktahuan manusia menggunakan pikiran untuk mewujudkan kebahagiaan yang dapat dinikmati bersama.
Secara pelan-pelan dan pasti kita perhatikan wujud nyata pelaksanaan ajaran agama Hindu di lapangan, dapat kita rangkum untuk digunakan sebagai pedoman untuk mencapai kebahagiaan. Seperti adanya upacara tumbek uduh (tumpek pangatag), tumpek kandang, upacara magpag toya, upacara nyakapan karang, dan banyak lagi yang lain. Kadang-kadang luput dari perhatian kita. Bahkan ada pula yang merendahkan seperti ditanggapi bermacam-macam yang bernada miring. Misalnya agama Hindu mengajarkan menyembah pohon, menyembah batu (menyembah berhala). Namun sesungguhnya kita diajarkan menggunakan pikiran untuk dapat kebahagiaan sejati melalui cara, memanusiakan alam beserta lingkungan. Bagaimana kita menyayangi diri kita sendiri, begitulah semestinya kita menyayangi alam dan lingkungan kita.
Dalam proses tersebut (memanusiakan alam dan lingkungan), dilandasi oleh rasa cinta, kasih dan sayang. Saya pikir seperti itu, karena kita tidak akan mungkin bisa hidup bahagia tanpa alam dan lingkungan yang lestari, apalagi hidup tanpa alam dan lingkungan. Jadi seperti itulah jalan pikiran saya melihat kenyataan pelaksanaan ajaran agama kita (Hindu), didalam menuntun umat manusia untuk dapat hidup bahagia berdampingan dengan sesama di atas bumi ini.
Untuk itu marilah kita cintai dan sayangi alam beserta lingkungan kita demi tercapainya hidup bahagia bersama-sama. Kita adalah makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk religius, hayatilah itu dan amalkan dalam hidup ini, mungpung masih diberi kesempatan hidup. Ingat waktu yang tersedia untuk hidup sangat singkat sekali. Lakukanlah apa yang bisa dilakukan demi tercapainya kebahagiaan bersama. Hancur dan lestarinya alam ini atas bijak atau tidaknya perlakuan kita.
Jadi konsep memanusiakan alam dan lingkungan merupakan landasan utama untuk mendapatkan keseimbangan di dalam mewujudkan kebahagiaan.
Ajaran Veda Sangat Menghormati Budaya Lokal, Mengangkat dan Memaknai Dengan Tattwa
Saya mempunyai pengalaman yang sangat indah, sewaktu saya dapat kesempatan berpergian keluar negeri, yaitu ke negeri Bharata (India). Di awal pikiran saya membayangkan bahwa saudara umat Hindu di India didalam melaksanakan ajaran agamanya, sama dengan tatacara kita melaksanakan ajaran agama Hindu di Bali. Ceritanya begini; Hari pertama saya sampai di India, sore harinya rombongan saya diajak mengikuti upacara penghormatan kepada Dewi Gangga, tempatnya di Hari Dwar tepat di pinggir sungai gangga. Semua anggota rombongan sangat setuju termasuk saya. Singkat cerita, sampailah ditempat upacara akan dilaksanakan. Saya sendiri jadi bingung, karena satu pun alat-alat upacara yang seperti di Bali tidak bisa saya temui. Untungnya saya tidak nanya kesana kemari atas perbedaan yang saya lihat. Jadi saya diam saja mengamati dan mengikuti sesuai dengan petunjuk yang di kumandangkan dari pengeras suara.
Setelah acara dari upacara tersebut selesai, rombongan saya kembali ketempat menginap. Kebetulan tempat menginap adalah sebuah hotel yang berada di tepi sungai Gangga juga tidak begitu jauh dari tempat upacara tadi. Kira-kira jam 01.00 WITA. Saya duduk sendiri diluar kamar, tepatnya di pinggir sungai Gangga. Udara malam hari sangat dingin, tetapi rasa dingin tidak terasa karena mendengar indahnya riakan suara air sungai Gangga yang mengarlir deras sekali. Kerdipan lampu di seberang sungai seperti kerdipan bintang di malam yang sangat cerah. Akhirnya saya jadi merenung mengingat pengalaman mengikuti upacara tadi sore. Seketika itu muncul sederetan pertanyaan dalam pikiran saya, antara lain begini; Katanya kita sama-sama agama Hindu dan penganut ajaran Veda, kenapa bisa sangat berbeda prosesi upacara di Bali dibandingkan dengan di sini? Jadi yang mana benar ini? Saya jadi bingung betul-betul bingung. Setelah lama saya berputar-putar berpikir dalam kebingungan, belum juga dapat mencari jawabannya. Pendek cerita saya bersama rombongan pulang ke Bali.
Berdasarkan pengalaman di India, saya mengamati pelaksanaan upacara agama di setiap daerah yang kebetulan saya kunjungi. Mengamati satu persatu, ternyata di Balipun upacara agama dilaksanakan dengan penuh perbedaan dari masing-masing daerah. Apalagi di daerah diluar Bali, perbedaanya sangat kentara sekali. Seolah-olah ajaran agama Hindu penuh di warnai oleh perbedaan. Akhirnya saya sempat berpikir ingin menyamakan atau menyeragamkan di seluruh Bali, bahkan diseluruh Indonesia. Biar kelihatannya satu. Jadi lebih mudah, lebih enak rasanya, dan tidak memusingkan. Lama kelamaan cita-cita saya seperti tersebut punah, sirna tak tentu rimbanya. Kenapa bisa begitu? Mungkin saudara-saudara pembaca akan bertanya seperti itu?
Begini ceritnya; suatu ketika saya membaca sebuah lontar yang diwariskan oleh leluhur saya dari jaman dulu. Didalam lontar tersebut diuraikan terjemahan dari kata AGAMA. Jadi kata agama itu tidak diuraikan seperti yang biasanya yaitu A-G-A-M-A. Namun disitu urainnya seperti ini; A-GA-MA. Artinya; A diartikan ”agni” yang bermaknya api atau panas, GA diartikan ”gangga” yang bermakna air atau cair, dan MA diartikan ”maruta” yang bermakna udara atau angin. Ketiga benda alam ini dapat memberikan kehidupan bahkan dapat memberikan kesejahtraan bagi mahkluk hidup diatas bumi ini. Selain dari itu, ketiga benda itu pula merupakan benda alam yang tidak memiliki bentuk tetap, baik itu angin, air maupun api. Jadi kata agama bila disejajarkan pengertianya dengan benda-benda tadi, kita akan dapati pemahaman bahwa penerapan ajaran agama di atas bumi ini, semestinya menyesuaikan dengan kondisi daerah dimana agama tersebut dianut.
Demikianlah agama Hindu (veda) dilaksanakan sesuai dengan kondisi daerah umat pendukungnya. Karena veda kalau kita sejajarkan dengan sifat air sesuai dengan definisi kata agama tadi, sangat cocok sekali. Sebab sifat air itu, dimana ditampung akan mendapatkan bentuk sesuai dengan bentuk penampungnya. Namun walaupun air itu berbeda bentuknya tetapi sifat pokoknya tidak berubah. Contoh; air ditampung menggunakan gelas, dia akan berbentuk gelas. Ditampung menggunakan ember dia akan berbentuk ember, tetapi sifatnya air itu cair, ya tetap cari walaupun ditampung menggunakan apa saja. Demikian pula ajaran veda, akan penuh diwarnai oleh budaya, seni, adat istiadat dimana veda itu dianut. Jadi perbedaan-perbedaan yang kelihatan dalam pelaksanaan ajaran veda itu disebabkan oleh budaya setempat. Mungkin sudah semua manusia mengakui bahwa peradaban atau budaya manusia dimasing-masing daerah berbeda.
Janganlah perbedaan itu ditonjolkan apalagi diperdebatkan, itu namanya pekerjaan yang sia-sia, hanya menghabiskan kalori saja. Ujung-ujungnya pasti pertengkaran dan perpecahan. Salah-salah sedang kita asyik mempertengkarkan perbedaan, hal-hal yang lebih penting terabaikan, seperti misalnya; Hidup kita semakin terdesak dari semua segi, kita sangat terlambat meningkatkan sumber daya manusia untuk menyongsong zaman globalisasi dan hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya.
Seperti apa yang telah saya kemukakan di atas perbedaan itu hanya terletak pada budaya manusia, tetapi inti atau tattwa yang terkandung di dalamnya tidak akan pernah berbeda. Ada contoh menarik yang perlu saya kemukakan disini; Umat Hindu di Bali, bahkan di Indonesia, sering melakukan upacara ngaben. Tetapi ada pula upacara sebelum ngaben dilaksanakan, yaitu mengubur mayat. Tentang prosesi penguburan mayat itu tidak tercantum dalam ajaran veda. Jadi mengapa upacara penguburan mayat itu dilaksanakan? Apakah ini tidak bertentangan dengan tradisi veda? Sedangkan di India tidak akan kita temui kuburan mayat orang Hindu. Sekilas kita akan melihat perbedaan yang sangat mencolok. Menurut kata hati saya, itulah buktinya veda sangat menghormati budaya lokal. Karena di Bali sebelum berkembanganya veda, orang-orang Bali kuno telah memiliki tradisi penguburan mayat dengan menggunakan peti batu (sarkopagus), mungkin tradisi ini telah ada sejak atau sebelum zaman batu, selanjutnya menjadi kebudayaan. Lalu zaman berganti zaman, masuklah ajaran veda, namun kebudayaan lokal tadi tetap dilaksanakan, artinya tidak dihancurkan. Makanya kita warisi sekarang ada sistem penguburan mayat. Sekalipun mayat itu di kubur namun pada akhirnya semua akan di bakar (diaben) sesuai dengan petunjuk veda. Inti pokoknya semua mayat orang Hindu pasti diaben. Jadi tidak ada yang melanggar ajaran veda. Veda tidak mendoktrin umatnya untuk mengikuti satu budaya.
Lagi saya ingat suatu polemik tentang pakaian orang Hindu, terutama pada waktu ada upacara pitra yadnya. Ada yang mengatakan harus memakai pakaian berwarna hitam, karena kita sedang berkabung. Adapula yang menyatakan tidak, harus berpakaian berwarna putih, karena sifat upacara pitra yadnya itu adalah menuju kesucian. Banyak umat yang kebingungan. Lalu yang mana benar? Sebenarnya tentang pakaian itu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Warna pakaian harus disesuaikan. Jika tidak bisa menyesuaikan, pasti kita dianggap aneh. Kembali tentang warna. Hindu menghormati segala warna. Pernah saudara mencoba, mencampur semua jenis warna sinar? Saya sendiri pernah. Kalau warna sinar tersebut dicampur semua, akan kembali menjadi warna putih. Jadi dasar segala warna sinar itu saya kira adalah putih. Makanya jangalah berpolemik mengenai warna. Atau berkeinginan untuk menggunakan satu warna untuk segala keperluan kita.
Adalagi yang lain, merupakan keinginan segelintir orang, terlepas dari tujuan yang mereka ingin capai. Ada yang berkeinginan menyeragamkan pelaksanaan ajaran agama Hindu, biar seragam dari ujung ke ujung. Menurut saya itu baik, kalau kita ingin membunuh budaya yang telah ada sebelumnya. Kalau itu terjadi alangkah sempit dan bodohnya pikiran kita. Selain dari pada itu, akhir-akhir ini tersirat di dalam masyarakat ada muncul pemikiran untuk mengganti tradisi yang telah lalu, produk leluhur kita, dengan tradisi luar yang kita tidak tahu ujung pangkalnya. Cara berpikir seperti ini, menurut hemat saya sangat keliru. Semestinya kita harus mampu mengkaji dalam-dalam, kemudian menyesuaikan dengan keperluan kita di zaman sekarang.
Semakin lama makin banyak mengalir dalam pikiran saya mengenai hubungan veda dengan budaya, sehingga semakin banyak pula muncul pertanyaan, bila kita melihat kenyataan hidup di masyarakat. Apa bila veda (agama Hindu) tidak mengayomi budaya lokal, pasti agama Hindu tidak masih dianut diatas bumi ini. Jika kita melihat dari diturunkannya veda yang diperkirakan ribuan tahun sebelum masehi. Walaupun di Indonesia penganutnya sedikit, tetapi di dunia, Hindu tergolong agama besar penganutnya. Untuk itu kita perlu memahaminya, dengan adanya perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaannya. Kembali pada perbedaan tadi, saya punya pikiran; bagaimana jadinya jika manusia itu diciptakan sama oleh Tuhan? Mukanya sama, tingginya sama, warna kulitnya sama, pokoknya semuanya sama. Mungkin kita akan selalu bingung. Jika kita mau datang ketempat yang ramai, kita akan bingung mencari istri kita, atau istri kita akan bingung mencari kita, karena semuanya sama. Makanya yang sama itu ada di budaya binatang. Misalnya sapi, dimana-mana sapi itu saranya sama, makanannya sama. Sebab sapi tidak memiliki budaya seperti manusia.
Mengingat hal seperti itu, kita semestinya mampu memanfaatkan perbedaan itu demi mewujdukan persatuan dan kesatuan, serta membangun kekuatan dan keindahan demi kebahagiaan kita bersama. Membangun sebuah rumah saja sudah penuh dengan perbedaan, baik bahannya, yaitu semen, batu, air dsb. Itu berbeda semua. Posisi dan komposisinya juga harus berbeda, sesuai dengan keperluan. Bisakah seseorang membangun rumah dengan bahan yang sama? Seperti membangun rumah dengan bahan semen saja? Selamanya rumah itu tidak akan selesai. Tetapi yang paling penting didalam meramu perbedaan itu adalah kesadaran kita (tahu diri), demi kepentingan bersama. Jika veda menghormati perbedaan, kenapa kita yang panatik veda ingin menghilangkan perbedaan itu. Sangat tidak masuk akal, dan lucu jadinya.
Para pembaca yang saya cintai, banyak lagi hal-hal semacam itu yang ada dalam pikiran saya. Tetapi untuk sekedar merangsang bangkitnya kesadaran kita, kiranya cukup saya tulis sekian saja. Tetapi yang paling penting adalah kesadaran kita demi keturunan kita dikemudian hari. Apa yang kita lakukan sekarang, harus memikirkan keturunan kita di kemudian hari. Jika tidak, niscaya akan terjadi kehilangan generasi penerus.
Canang
OM SWASTIASTU.
Akhir-akhir ini banyak yang bertanya kepada saya tentang CANANG. Baik makna, cara mebuatnya unsurnya. Menyimak dari banyaknya pertanyaan yang saya terima, maka saya dapat menyimpulkan sementara bahwa umat kita masih banyak yang tidak tau makna dan cara mebikin canang itu sendiri. Maka dari itulah dengan segala kekurangan yang saya miliki, saya mencoba menulis secara singkat disini dengan harapan dapat digunakan sebagai landasan belajar.
CANANG; Barang ini sudah tidak asing lagi di mata masyarakat, sebab hampir tidak ada hari yang tidak menggunakan canang khususnya di Bali (umat Hindu), oleh karena canang itu sebagi sarana upacara yang paling sederhana, namun maknanya cukup tinggi dan dalam. Namun masih banyak umat Hindu yang belum memahami apa itu canang. Sehingga mereka banyak membeli barang yang mirip canang namun sebenarnya itu bukan canang, itu tidak lebih berupa pas bunga namun diberi lebel canang, sebab banyak unsur canang yang tidak diisi. Bertitik tolak dari itulah saya sangat berkepentingan untuk memberikan sedikit pengertian tentang canang untuk tidak terjadi kesalahan yang lebih patal.
CANANG. adalah unsur terpenting dari banten sehingga tempatnyapun di dalam bebantenan selalu ditempatkan paling atas. di dalam kitab Rare Angon juga disebutkan canang itu adalah merupakan puncak dari bebantenan. Canang = base ( sirih bhs Indonesia), base=bahasa, ucapan.
UNSUR TERPENTING DARICANANG;
Porosan (base, buah, pamor) yaitu; sirih, buah pinang, kapur disatukan, ini merupakan simbul dari Dewa, sirih simbul Dewa wisnu, buah pinang sibul Dewa Brahma, kapur simbul Dewa Iswara, demikianlah makanya saya sebut penting.
Kemudian canang harus ada jejaritan yang disebut wadah lengis, dibuat dari daun kelapa muda. Dan jejahitan yang disebut payasan, plaus, ceper, dan bunga, wangi-wangian, disusun begitu rupa itulah disebut canang. Canang itu ada berjenis-jenis, nanti kita bicarakan masing-masing jenis canang.
Makanya canang yang dari membeli dengan canang yang dari membuat sendiri itu sangat beda arti dan maknanya. Menurut saya yang lebih bermakna yadnya adalah canang yang dari membuat. Kenapa demikian? karena kelengkapannya terjamin dan disaat membikin pikiran kita tidak didasari oleh pikiran menghitung untuk dan rugi, kesucian canang saat dibuat lebih terjamin kalau kita membikin canang. Semua ini terlepas dari kata sibuk dan lain sebaginya, hal ini haris didasari oleh ketulusan dan keikhlasan.
Om Santih, Santih, Santih. Om
MENGENAL KONSEP-KONSEP KEBALIAN SECARA MENDASAR
Bali memang sudah terkenal dan dikenal oleh banyak orang, berkat tatanan kehidupan masyarakatnya masih sangat unik, alamnya yang indah, masyarakatnya sangat religius. Tetapi masih banyak pula orang yang belum mengenalnya secara mendasar, sehingga masih ada penilaian yang miring terhadap Bali, baik datangnya dari luar maupun dari dalam. Saya sebenarnya menganggap itu adalah wajar-wajar saja, sebab saya menganggap mereka masih perlu belajar banyak lagi tentang Bali. Tetapi sayangnya juga, kebanyakan dari mereka tanpa berpikir atau menelusuri, tahu-tahu memvonis. Keadaan seperti itulah yang sangat menarik perhatian saya untuk merenung, agar mendapatkan jawabannya.
Ada satu contoh, setiap orang Bali melakukan aktivitas agama, terutama yang ada kaitannya dengan upacara agama, kelihatannya rame, rumit dan sulit. Banyak yang tidak mengerti, bahkan tidak sedikit yang menjadi kebingungan. Di dalam kebingungan inilah mereka memberikan penilaian sesuai dengan keinginan mereka, bahkan memvonis sesuai dengan kehendaknya. Di dalam kata hati saya, apakah itu benar seperti penilaian mereka? Pada waktu saya menimbang-nimbang dalam pikiran, munculah kata hati saya sebagai berikut;
Bali adalah suatu pulau yang dihuni oleh orang-orang Hindu yang memiliki kwalitas berpikir cukup tinggi, dan wawasan berpikirnyapun teramat luas. Kenapa demikian? Karena Bali dibangun berdasarkan konsep yang cukup matang. Jadi begini; Bali berada dalam konsep tiga perjanjian. Antara lain;
1. Perjanjian agama sebagai intinya
2. Perjanjian wangsa (keluarga besar)
3. Perjanjian masyarakat (perjanjian pakraman)
Setiap aktivitas orang Bali (Hindu), ketiga perjanjian ini berjalan atau dilaksanakan secara serasi dan seimbang. Yang paling menonjol dapat kita amati yaitu dalam kegiatan upacara ngaben. Di dalam kegiatan yang lainpun tetap berlaku, namun yang paling menonjol dan sering menjadi sorotan adalah upacara ngaben. Mari kita coba melihat upacara ngaben dari tiga konsep tadi.
Di dalam perjanjian agama (Veda), mengamanatkan bahwa setiap orang Hindu yang meninggal, agar mayatnya dijadikan abu supaya atmanya mendapatkan moksa. Namun dalam perjanjian keluarga mengharuskan setiap ada anggota keluarga yang meninggal, agar memberitahu semua anggota keluarga yang lain, dan pada waktu ngaben kalau keluarga yang memiliki kematian mampu terutama di bidang ekonomi, harus menggunakan ”bade” (alat mengusung mayat) untuk membawa mayat ke tempat pembakaran (setra). Banyak lagi persyaratan keluarga yang merupakan identitas dari keluarga tersebut, dan jangan lupa memohon hari baik kepada beliau yang berhak dan pantas memberikan. Setelah itu masuk ke perjanjian masyarakat (pakraman banjar), setiap anggota banjar ada yang meninggal, harus ada dari pihak keluarga yang bersangkutan melaporkan ke kepala banjar (kelian banjar), karena ada kewajiban dari banjar yang mesti dilaksanakan bila ada salah satu warga banjar yang meninggal.
Jadi demikian prosedur yang harus dilalui. Memang kelihatannya begitu rumit, namun itu soal biasa bagi umat Hindu di Bali dan mereka menganggap tidak terbebani. Kecuali ada umat yang malas dan kurang akrab pergaulannya sehari-hari di masyarakat, anggota masyarakat semacam itulah paling merasa terbebani. Dari merekalah biasanya ada kritik-kritik yang kurang membangun. Bagi mereka yang bukan orang Hindu, apalagi bukan orang Bali, sangat sulit memahaminya dan inilah kadang-kadang dianggap kelemahan dari agama Hindu di Bali khususnya, dan di besar-besarkan ceritanya untuk menarik minat agar umat mau mengikuti kehendak mereka (ajaran lain) yang dianggap lebih baik bahkan lebih sempurna.
Kembali ke pokok permasalahan di atas yaitu masyarakat Hindu di Bali diikat oleh tiga perjanjian, yang semuanya itu dilakukan penuh rasa kekeluargaan. Ketiga perjanjian itu pula merupakan lapisan pertahanan atau dapat digunakan mengantisipasi pengaruh-pengaruh negatif, baik datangnya dari luar, maupun dari dalam tubuh sendiri. Maka dari itu, alangkah pentingnya kita harus mengetahui Bali secara mendasar, agar dapat memahami yang lengkap untuk mewujudkan rasa hormat kepada leluhur, dan rasa cinta terhadap generasi yang akan datang. Di samping itu, sistem pertahanan Bali ada dalam konsep tadi.
Orang-orang di luar Bali, apalagi di luar Hindu, akan selalu bingung melihat aktivitas orang Hindu di Bali, karena yang dia lihat pertama adalah aktivitas yang sudah diwarnai oleh perjanjian pakraman. Dari sini awalnya penilaian orang terhadap agama Hindu adalah agama budaya, makanya mereka jadi salah terus menilai ajaran agama Hindu. Untuk jelasnya saya berkeinginan memberi contoh, yang menurut hemat saya akan lebih mudah untuk dipahami.
Yaitu; Bali dibentuk mengikuti bentuk telur. Kuning telur itu diumpamakan Agama Hindu itu sendiri, yang tadi disebut perjanjian agama. Selanjutnya putih telur itu diumpamakan perjanjian wangsa, dan kulit telur itu diumpamakan perjanjian pakraman. Dari ketiga perjanjian tersebut sebagai jiwanya adalah perjanjian agama, yang menjiwai perjanjian wangsa dan perjanjian pakraman. Artinya kedua perjanjian tersebut tadi tidak boleh bertentangan dengan perjanjian agama. Orang melihat Bali akan persis seperti melihat telur, yang dilihat adalah kulitnya. Mereka akan berpikir bahwa telur itu keras, warnanya putih atau agak merah. Jadi baru melihat kulit telur saja mereka sudah menyimpulkan seperti itu. Kenapa tidak mau bersabar sedikit untuk mencoba mengamati secara menyeluruh? Pasti kita akan dapat pengetahuan lebih banyak dari apa yang kita miliki tentang telur itu.
Bali itu diumpamakan seperti telur, karena yang dicari bukan kulitnya, bukan putihnya, dan bukan juga kuningnya, melainkan wujud telur itu selanjutnya bila diayomi dan diawasi (agar telur itu menetas). Dari jaman dahulu Bali sudah banyak menetaskan telurnya, seperti; menetas menjadi seniman besar, budayawan besar, agamawan, sastrawan dan lain sebagainya. Begitu jadinya apabila kita mau merawatnya dengan baik. Bali telah banyak dipakai percontohan antara lain; sistem subaknya banyak yang menjadikan contoh, sampai ke luar negri, walaupun sistem subak sekarang sangat memprihatinkan, sepertinya kurang mendapat perhatian dari semua pihak, banyak pula Pura Ulun Carik atau Pura Dugul yang terbengkalai, karena sawah sudah berubah fungsi.
Perlu saudara ketahui pada waktu menulis ini saya tidak dapat membendung tetesan air mata mengenang Bali di masa datang. Ada lagi sistem banjar, yang sering juga digunakan untuk menyukseskan program pemerintah, seperti program keluarga berencana sistem banjar, program transmigrasi juga sistem banjar, dan kadang kala banjar atau desa pakraman sering ditumpangi muatan politik untuk kepentingan orang tertentu, atau untuk kepentingan kelompok tertentu, ini yang saya paling tidak setuju. Sempat pula saya berpikir, munginkah nasib sistem banjar dan sistem desa pakraman di Bali akan sama dengan nasib subak? Sebenarnya ini sangat bergantung pada kita orang Bali, terutama kita orang Bali yang beragama Hindu. Semuanya itu saya kira ada dipundak kita tanggung-jawabanya. Jika kita yang lengah, atau kurang memikirkan anak cucu kita dikemudian hari pasti semua yang kita banggakan di Bali akan sirna tanpa bekas.
Sehubungan dengan permasalahan yang saya telah kemukan di atas, sepertinya Bali yang saya umpamakan seperti telur tadi, sekarang telur itu kulitnya sudah kelihatan retak-retak, apa lagi ditambah dengan kemampuan kita masih terbatas untuk memahami fungsi wangsa dalam kaitannya dengan keberadaan agama Hindu khususnya di Bali, hal ini akan bisa memunculkan fanatisme sektoral, sehingga gesekan-gesekan di antara kita semakin terasa. Kalau itu sampai terjadi, sudah dapat dipastikan satu lapisan telur tadi akan rusak. Jadi telur akan tidak mungkin menetas, bahkan yang paling mungkin telur itu akan busuk dan tidak ada gunanya.
TANGKIL KE PURA UNTUK NGAYAH DAN BERSEMBAHYANG MERUPAKAN LANGKAH MEMPRAKTIKAN YOGA
OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMO SIDAM.
Mengamati banyak pura kuno yang ada di Bali, sebagian besar letaknya di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Seperti misalnya; Pura pasar Aung di wilayah Karangasem, Pura Lempuyang juga di wilayah Karangasem, Pura Pucak Manik di wilayah Singaraja dan banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan semuanya. Letak pura seperti ini yang sangat menggugah pikiran saya untuk mengetahui. Kenapa bisa seperti itu? Apakah leluhur kita dahulu tidak bisa mencari tempat strategis pada saat dibangunnya pura tersebut? Saya kira tidak sulit mencari lahan untuk membangun pura, mau mencari lahan di kota, di pedesaan itu sangat mudah. Kenapa beliau tidak mau lakukan itu?
Tetapi di zaman sekarang, konsepnya berbalik. Jika ada yang ingin membangun pura, mencari tempat yang strategis, supaya dapat dipinggir jalan besar biar mudah dijangkau. Lucunya lagi, pura yang dibangun oleh leluhur kita, seperti yang saya katakan tadi cukup sulit dijangkau, dibuatkan jalan agar mudah dijangkau oleh semua orang. Apakah pemikiran seperti itu sudah boleh dikatakan benar?
Sudahkah langkah yang diambil seperti itu sesuai dengan konsep dasar pemikiran leluhur kita sewaktu membangun pura tersebut? Inilah pokok permasalahan yang saya ingin tuangkan, dengan mencoba melihat dari sudut latihan yoga. Sekaligus saya menginginkan adanya pemahaman dan pengertian di antara kita. Yoga merupakan aktivitas yang mampu meningkatkan kerohanian, dan mampu menuntun umat manusia untuk menemukan jati dirinya (mewali ring sangkanin dumadi). Itulah pemahaman bebas dari saya tentang yoga untuk memberikan batasan agar dapat kita menguraikan selanjutnya.
Oleh karena, begitu luhurnya ajaran yoga, maka para pendahulu kita ingin keturunannya dapat melakukan yoga secara rutin, untuk dapat merasakan kebahagiaan hidup yang sejati. Namun beliau juga sudah memahami sifat-sifat dasar manusia salah satu diantaranya adalah malas (ngekos dalam bahasa Bali), sifat ingin yang gampang-gampang saja dan sifat lainnya yang sejenis. Namun yoga akan merubah sifat-sifat semacam itu. Disinilah kelihatannya agak kontradiktif. Maka dari itu ajaran yoga dikemas secara halus sekali sehingga tidak nampak. Artinya mereka yang melakukan yoga tersebut tidak merasa apa yang mereka sedang lakukan adalah sesuatu yang sangat luhur dan bermanfaat bagi hidupnya (gerakan yoga).
Sebelum saya melanjutkan uraian tadi, kata yoga di dalam masyarakat umum (Hindu di Bali), sangat disucikan, bahkan kelewatan caranya menyucikan akhirnya muncul rasa ketakutan mendengar kata yoga (dianggap serem). Perkembangan pemikiran seperti itu sudah dibayangkan sebelumnya oleh leluhur kita, makanya saya katakan tadi yoga itu dikemas secara halus biar mudah dapat dilakukan, bahkan tidak terasa melakukan yoga. Namun pada intinya yoga itu dapat menyentuh lapisan masyarakat terbawah dengan tidak membedakan kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi dan kemampuan yang lainnya. Dasar pemikiran seperti itu dituwangkan di dalam konsep pendirian pura, konsep ngayah di pura pada waktu ada pujawali atau pada waktu ada kegiatan di pura, dan banyak lagi penjabaran yoga dalam kehidupan bermasyarakat Hindu.
Mengamati banyak pura kuno yang ada di Bali, sebagian besar letaknya di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Seperti misalnya; Pura pasar Aung di wilayah Karangasem, Pura Lempuyang juga di wilayah Karangasem, Pura Pucak Manik di wilayah Singaraja dan banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan semuanya. Letak pura seperti ini yang sangat menggugah pikiran saya untuk mengetahui. Kenapa bisa seperti itu? Apakah leluhur kita dahulu tidak bisa mencari tempat strategis pada saat dibangunnya pura tersebut? Saya kira tidak sulit mencari lahan untuk membangun pura, mau mencari lahan di kota, di pedesaan itu sangat mudah. Kenapa beliau tidak mau lakukan itu?
Tetapi di zaman sekarang, konsepnya berbalik. Jika ada yang ingin membangun pura, mencari tempat yang strategis, supaya dapat dipinggir jalan besar biar mudah dijangkau. Lucunya lagi, pura yang dibangun oleh leluhur kita, seperti yang saya katakan tadi cukup sulit dijangkau, dibuatkan jalan agar mudah dijangkau oleh semua orang. Apakah pemikiran seperti itu sudah boleh dikatakan benar?
Sudahkah langkah yang diambil seperti itu sesuai dengan konsep dasar pemikiran leluhur kita sewaktu membangun pura tersebut? Inilah pokok permasalahan yang saya ingin tuangkan, dengan mencoba melihat dari sudut latihan yoga. Sekaligus saya menginginkan adanya pemahaman dan pengertian di antara kita. Yoga merupakan aktivitas yang mampu meningkatkan kerohanian, dan mampu menuntun umat manusia untuk menemukan jati dirinya (mewali ring sangkanin dumadi). Itulah pemahaman bebas dari saya tentang yoga untuk memberikan batasan agar dapat kita menguraikan selanjutnya.
Oleh karena, begitu luhurnya ajaran yoga, maka para pendahulu kita ingin keturunannya dapat melakukan yoga secara rutin, untuk dapat merasakan kebahagiaan hidup yang sejati. Namun beliau juga sudah memahami sifat-sifat dasar manusia salah satu diantaranya adalah malas (ngekos dalam bahasa Bali), sifat ingin yang gampang-gampang saja dan sifat lainnya yang sejenis. Namun yoga akan merubah sifat-sifat semacam itu. Disinilah kelihatannya agak kontradiktif. Maka dari itu ajaran yoga dikemas secara halus sekali sehingga tidak nampak. Artinya mereka yang melakukan yoga tersebut tidak merasa apa yang mereka sedang lakukan adalah sesuatu yang sangat luhur dan bermanfaat bagi hidupnya (gerakan yoga).
Sebelum saya melanjutkan uraian tadi, kata yoga di dalam masyarakat umum (Hindu di Bali), sangat disucikan, bahkan kelewatan caranya menyucikan akhirnya muncul rasa ketakutan mendengar kata yoga (dianggap serem). Perkembangan pemikiran seperti itu sudah dibayangkan sebelumnya oleh leluhur kita, makanya saya katakan tadi yoga itu dikemas secara halus biar mudah dapat dilakukan, bahkan tidak terasa melakukan yoga. Namun pada intinya yoga itu dapat menyentuh lapisan masyarakat terbawah dengan tidak membedakan kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi dan kemampuan yang lainnya. Dasar pemikiran seperti itu dituwangkan di dalam konsep pendirian pura, konsep ngayah di pura pada waktu ada pujawali atau pada waktu ada kegiatan di pura, dan banyak lagi penjabaran yoga dalam kehidupan bermasyarakat Hindu.
Seperti kita ketahui pura kuno dibangun di atas gunung, di tepi tebing, di dalam lautan, di dalam guwa, pokoknya di tempat yang agak sulit dijangkau. Untuk dapat dipahami secara jelas pembangunan pura berdasarkan konsep yoga, harus juga dimulai dari menguraikan tahapan yoga, kemudian sesuaikan dengan konsep pembangunan pura tadi. Saya akan mencoba untuk menguraikan tahapan yoga secara umum saja yaitu;
• Panca Yama Brata
• Panca Niyama Brata
• Asana
• Pranayama
• Dyana (Semadi)
Mungkin tahapan yoga yang saya uraikan ini tidak lengkap sekali, karena saya ingin mencari yang paling menonjol kaitannya dengan pembangunan pura. Panca yamabrata dan panca niyamabrata ditekankan agar dilakukan setiap hari, di dalam kehidupan sehari-hari. Lalu asana, pranayama dan dyana agak jarang dilakukan, sebenarnya ini juga harus setiap hari dilakukan. Dikarenakan oleh adanya suatu sebab yang kurang jelas, maka tahapan yoga bagian asana, pranayama dan dyana kurang tekun dilakukan.
Nah sekarang kaitannya dengan pembangunan pura yang lokasinya seperti yang telah diuraikan tadi, itu akan memberikan peluang yang sangat besar untuk melakukan asana, pranayama dan dyana dengan tidak kita sadari. Misalnya untuk bisa sembahyang atau ngayah ke pura yang sulit dijangkau, memerlukan persiapan fisik dan mental yang memadai serta melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah.
Sekarang kita ambil contoh mau sembahyang ke Pura Pucak Manik di wilayah Grokgak Singaraja. Sebelumnya orang yang mau sembahyang harus siap mental artinya, harus sehat, dan berkonsentrasi, tidak boleh ragu-ragu, pakaian sederhana, barang bawaan secukupnya dan sepantasnya, sebab perjalanan akan melalui medan yang cukup berat dan posisinya naik. Di dalam perjalanan melalui jalan setapak, tebing-tebing, hanya ada pohon dan akar yang dapat digapai sebagai pembantu. Nafas terengah-engah, CO2 keluar dengan derasnya demikian pula O2 akan masuk dengan deras pula melalui hidung kita, pertukaran udara akan terjadi antara orang yang tangkil dengan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar areal perjalanan. Rasanya paru-paru dicuci bersih, jantung terasa berat memompa darah, sehingga dada terasa berdebar.
Setelah perjalanan berakhir di areal pura, nafas masih terengah-engah, sudah pasti memerlukan waktu istirahat barang 10 minit, kemudian baru berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan sembahyang. Setelah nafas agak sempurna, dada terasa ringan, beban pikiran menjadi ringan, perasaan jadi sangat tenang. Kita duduk dengan pikiran hening, lalu melakukan persembahyangan melalui urutan sebagaimana mestinya. Setelah bersembahyang ketenangan sangat terasa, perutpun mulai terasa lapar, mau tidak mau ”lungsuran banten” (banten yang telah dihanturkan) dimakan habis. Dalam keadaan seperti itu semua orang yang mengalami tangkil ke pura yang sejenis medannya dengan Pura Pucak Manik, akan tidak menyadari dirinya telah melakukan yoga dari tahap awal sampai tahap dyana.
Perjalanan mendaki yang diuraikan tadi, itu sama dengan asana yang sangat sempurna, keringat bercucuran. Nafas terengah-engah, itu sama dengan pranayama yang sempurna. Setelah tenang duduk lalu bersembahyang itu adalah dyana semadi/meditasi yang tidak kalah bobotnya. Demikian bijaknya para leluhur kita melatih generasi penerusnya untuk selalu dapat melaksanakan yoga, sehingga bisa terbentuknya moral yang luhur. Di samping itu adapula makna yang dapat dipetik, bahwa tidak sembarangan orang dapat sembahyang langsung di pura itu. Bagi mereka yang berpikir ragu-ragu pasti tidak bisa, mereka yang sakit-sakitan, ibu-ibu hamil, anak-anak yang belum cukup umur, cacat fisik, sangat sulit menempuh perjalanan seperti itu. Mereka akan sembahyang di pura yang mudah dijangkau oleh mereka.
Demikian pemahaman saya mengenai pembangunan pura yang letaknya sulit dijangkau oleh masyarakat umum, bila dikaitkan dengan penerapa yoga secara praktis, halus sehingga hampir tidak dapat dirasakan oleh si pelaku.
Permasalahannya sekarang adalah, sebagian besar pura seperti tadi sudah dibuatkan jalan untuk mudah dapat dijangkau oleh semua golongan, bahkan sampai pedagang kaki limapun ikut menyemarakkan, pura jadi ramai, dagang kaset itu memutar kasetnya agar laku dijual. Pemandangan yang muncul tak ubahnya semakin jauh. Bagi mereka yang bersembahyang pun tidak mengalami proses yoga yang benar dan mantap. Judi semarak, menurut pengamatan saya pura yang merupakan tempat mencari kesucian, berubah menjadi tempat mencari hiburan.
Saya rasa, menangis leluhur kita di alam sana, karena kita sebagai pewarisnya tidak mampu memanfaatkan pura seperti langkah dan tujuan leluhur kita terdahulu. Jika begini terus habislah segala warisan yang adhi luhung itu. Wahai generasi penerus, engkau tidak akan dapat menikmati Bali yang sempurna seperti dahulu.
Saya kira masih ada kesempatan untuk melestarikannya, kalau kita sama-sama menyadari demi keturunan kita nanti. Marilah berbuat bukan hanya untuk dinikmati sekarang saja, berbuatlah untuk generasi masa datang.
Mungkin ada di antara pembaca yang ingin bertanya. Jadi kalau begitu pemahamannya, rasanya ada unsur membedakan antara umat yang kuat dan umat yang lemah untuk dapat mengikuti yoga? Sebenarnya tidak ada yang membedakan. Kecuali mereka sendiri yang membedakan dirinya dengan yang lain. Maksudnya mereka yang sakit pasti berbeda dengan mereka yang sehat. Mereka yang sungguh-sungguh ingin menyembah Ida Sang Hyang Widhi akan berbeda dengan orang yang sekedar memamerkan pakaian, memamerkan kekayaan, memamerkan postur tubuh datang ke pura. Kalau memang mereka merasa sama tidak ada larangan untuk tangkil bersembahyang. Begitu mereka tangkil ke pura, otomatis mereka sudah melakukan yoga.
Kesimpulannya itu sangat tergantung pada kesungguhan dan ketekunan kita. Sebagai orang awam, begitulah pemahan saya tentang dibangunnya pura yang letaknya ditempat yang sulit dijangkau. Jangalah diutak-atik lagi, yang sifatnya memudahkan dan tidak mendidik. Mudah menjangkau beda bobotnya dengan yang sulit dijangkau.
AKTIVITAS AGAMA DAN AKTIVITAS JUDI DALAM SATU AREAL. PERILAKU BENARKAH ITU ? DAPATKAH TINDAKAN TERSEBUT MENJAGA KESUCIAN AGAMA ?
Tidak henti-hentinya hati saya heran mengamati prilaku saudara-saudara kita yang tidak mau memahami tindakannya merugikan pihak lain bahkan merugikan citra Agama. Bahkan banyak di antara mereka tergolong generasi penerus dan memiliki ilmu pengetahuan yang cukup untuk berpikir ke arah yang lebih positif. Atas tindakan mereka itu sepertinya telah memberikan identitas baru bagi agama kita, yaitu kegiatan agama Hindu identik dengan judi (terutama sabungan ayam).
Saya sangat setuju terhadap generasi muda yang berpikiran kritis, sehingga memprotes adanya bentuk-bentuk pelecehan terhadap agama kita, seperti; gambar canang sari yang berisi bola golf, dan gambar Acintya yang tidak pada tempatnya, huruf Ongkara yang ditato di atas pantat seorang tamu. Lalu saya bertanya dalam hati kenapa tindakan main judi di areal pura belum mendapat protes? Apakah dikarenakan judi itu berdalih penggalian dana untuk upacara, atau dana untuk membangun pura? Atau karena judi itu (tajen) dikaitkan dengan pelaksanaan tabuh rah?
Sederet pertanyaan semacam itu akan mengalir dalam pikiran saya, namun satupun tak ada gunanya untuk dibahas karena masih banyak saudara kita yang masih senang berjudi. Karena ini sebagai gejolak hati, saya hanya bisa menuangkan dalam tulisan ini, yang barang tentu tidak menyenangkan bagi penggemar judi. Tetapi ini merupakan suara hati saya, yang harus saya kemukakan. Ada lagi hal yang sangat lucu pernah saya lihat, sepasang suami istri tertawa riang di jaba pura mendengar laporan dari anaknya yang kira-kira baru berumur 6 tahun, bahwa mereka menang main judi (mekocok). Bahkan si orang tua menyuruh anaknya main kocok lagi. Betapa bahagianya orang itu nantinya mempunyai anak seorang penjudi berprestasi. Tidakkah mereka sadar bahwa tindakan mereka sudah memberi peluang kepada anaknya untuk latihan intensif menjadi penjudi berprestasi?
Di zaman yang lampau nenek moyang kita membangun pura yang tidak didukung oleh kecanggihan teknologi, juga kondisi ekonomi tidak sebaik sekarang, kok pura itu dapat dibangun. Apa kira-kira yang dijadikan modal? Saya akan mencoba mengingat apa yang pernah saya lihat di thn 1959, waktu itu pura Desa Adat (pakraman) Blahbatuh merehab besar-besaran pura Puseh. Dengan pintu gerbang (pemedal) yang tingginya lebih kurang 20 meter. Sampai sekarang masih berdiri tegak, tepatnya dipinggir jalan sebelah kanan dari jalan Denpasar menuju Desa Bona, di wilayan Desa Blahbatuh.
Pada waktu itu, batu bata, dibikin sendiri, batu padas mencari di pinggir sungai Petanu lebih kurangnya jauhnya 1 km, dari arah pura ke Barat. Waktu itu tidak ada yang saya dengar ada bantuan dana dari pihak lain. Cara bekerjanyapun menggunakan sistem gotong royong murni, tidak menggali dana dari judi. Karena beliau-beliau di zaman itu tidak mau puranya ternoda oleh hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Setelah pura Puseh berdiri megah, dilanjutkan dengan melaksanakan upacara pemlaspas yang cukup meriah, juga tanpa dukungan dana dari judi, dananya murni dari hasil keringat anggota masyarakat.
Berdirilah pura yang megah dan sekarang menjadi kebanggaan masyarakat Desa pakraman Blahbatuh. Saya juga sempat mendengar dan mengingatnya sampai sekarang, sebagai landasan beliau-beliau yang sangat kuat di dalam proses pembangunan pura sampai ke tahap upacara pemlaspas adalah; Konsep ngayah dan konsep kesucian, demi anak cucuk mereka di masa yang akan datang. Alangkah luhurnya budi para pendahulu kita.
Pernahkah kita bayangkan hal itu terjadi dimasa lampau? Pernahkah kita rasakan bahwa kita diwariskan sesuatu yang sangat luhur? Saya kira, apabila sekarang kita (Desa pendukung) disuruh atau diwajibkan untuk membangun pura sebesar itu melalui dana berswadaya, tulus dan ikhlas, rasanya cukup berat. Di samping itu di depan Pura Puseh yang saya katakan tadi, dibangun sebuah wantilan (balai masyarakat), yang sekarang sering digunakan bermain judi tajen, yang sebenarnya wantilan itu diperuntukan mengadakan hiburan, seperti tari-tarian selama acara pujawali. Mungkin demikian pula adanya proses pembangunan pura yang lain oleh pendahulu kita, dengan berlandaskan keikhlasan, dan kesucian demi generasi yang akan datang.
Nah sekarang kenyataanya masih cukup banyak umat kita, diwaktu membangun pura, melakukan upacara di pura bersandarkan pada judi sebagai arena penggalian dana. Itu berarti kita akan mewariskan judi sebagai salah satu budaya hidup nantinya, yang mana kita telah ketahui bersama bahwa judi itu sangat dilarang oleh agama kita. Judi dapat merusak moral dan masa depan kita, kenapa itu masih dilakukan? Di dalam aktivitas beragama Hindu ada sebuah tatanan yang tersirat, yaitu; melalui pelaksanaan upacara agama kita mendalami tattwa yang menerapkan etika. Setiap ada upacara kita harus mengkaji tattwa yang terkandung di dalamnya, untuk melandasi kehidupan kita sehari-hari, di samping itu kita harus mampu menerapkan susila (etika).
Setiap upacara penuh dengan makna tattwa dan diatur oleh tata susila. Sebagai contoh; setiap ada pujawali pasti menggunakan sarana-sarana yang mana sarana tersebut merupakan simbol (niyasa) yang dapat memberikan tuntunan kerohanian untuk mencapai tujuan hidup yang sejati. Dalam mempersiapkan upacara, dan di waktu pelaksanaan upacara itu pula penuh dengan aturan yang mengacu pada tata susila, sehingga upacara tersebut menjadi sakral dan suci.
Kalau di dalam berjudi apakah ada tattwanya? Bagaimana bentuk tata susila yang diterapkan agar dapat menuntun si penjudi menuju kesucian pikiran dan menemukan jati dirinya? Maka dari itulah saya sangat tidak setuju apabila ada judi di halaman pura, atau mengadakan judi dengan dalih membangun pura, apalagi untuk modal melakukan upacara agama. Karena tindakan tersebut sangat merugikan kita dan dapat menodai kesucian Agama. Sangat malu kita jadinya jika aktivitas agama diidentikkan dengan judi.
Saya menyadari dalam ajaran agama Hindu ada juga mengajarkan mengenai RwaBhineda, yaitu dua hal yang sangat kontradiktif. Tetapi kaitannya dengan aktivitas agama itu, judi itu dihubung-hubungkan dengan agama, saya sangat tidak setuju. Jadi judi ya judi, silahkan membuat tempat judi khusus. Pura sebagai tempat yang kita sucikan ya tetap tempat suci. Jangan diaduk-aduk, di samping dapat membingungkan juga sangat mencemari kesucian pura sekaligus menodai agama.
Mudah-mudahan renungan atau suara hati saya tersebut di atas dapat dipahami, untuk memancing kesadaran kita, demi masa depan kita bersama juga. Marilah kita bebaskan aktivitas agama dari judi, mulai dari membebaskan diri kita terlebih dahulu dari judi.
KEGIATAN UPACARA YANG SAKRAL DAN RELIGIUS BERUBAH MENJADI PASAR AMAL
Pikiran saya selalu cemas dan khawatir, melihat gejala-gejala kehidupan dewasa ini, yang banyak tidak sesuai dengan suara hati saya. Apalagi gejala tersebut terkait dengan agama, akan sangat meresahkan pikiran saya. Saya seorang Pedanda, pada saat-saat tertentu dimohon untuk muput yadnya. Kekhawatiran saya paling keras muncul saat saya muput yadnya pujawali di pura. Sewaktu orang tua saya belum meninggal, setiap beliau muput saya pasti ngiring. Pada waktu beliau muput pujawali di Pura, kesan yang masih saya ingat adalah kesan kesucian, kesan keasrian, dan kesan kesakralan, itu saya dapat rasakan sampai tahun 1970 an.
Dari baru mau masuk depan pura, sudah merasakan kesan seperti itu. Telinga dari jauh sudah mendengar sayup-sayup nyanyian rohani (kidung), semakin dekat pura, mata disambut oleh pemandangan yang bernuansa kesucian, hidungpun tidak ketinggalan mendapat sapaan dari bau asap yang semerbak wangi. Setelah sampai di pura, pikiran sudah betul-betul hening dan suci. Sambil mengikuti tahapan-tahapan dari pelaksanaan upacara pujawali, kita dihibur oleh topeng, wayang kulit, yang semuanya menyampaikan pesan-pesan rokhani. Lengkaplah sudah terbentuknya kesucian di dalam pikiran untuk segera menghubungkan diri sama Hyang Kuasa melalui persembahyangan yang sangat khusuk.
Tetapi saat ini kesan tersebut sulit kita akan dapati, karena hampir semuanya memberikan kesan yang bertolak belakang dengan yang saya uraikan tadi. Sekarang begitu kita mau datang tangkil ke Pura, telinga sudah disambut dengan lagu-lagu dangdut yang diputar oleh pedagang kaset, yang berjualan di depan pura. Mata dicekoki oleh pemandangan yang kurang sedap tak ubahnya seperti melihat perumahan kumuh, karena para pedagang seenaknya mendirikan warung dagangannya menggunakan atap plastik, atap terpal yang kebanyakan kondisinya sangat kumal sekali. Hidungpun sebagai indra penciuman tidak luput dari serangan bau dari bermacam-macam model makanan yang dijual. Selain itu perasaanpun dinodai oleh maraknya judi yang dibuka, mulai dari main ”kocokan” untuk anak-anak sebagai calon penjudi pemula, ”cap deki” untuk yang lebih senior, maceki untuk penjudi yang kurang kuat berdiri, dan tajen untuk penjudi yang senang melatih suara, pokoknya lengkaplah sudah.
Jadi sangat tidak mungkin persembahyangan yang dilakukan akan memberikan keheningan hati dan pikiran, bahkan mungkin bisa menumbuhkan rasa kesal, rasa dendam, rasa jengkel dan perasaan yang sejenis itu. Saya sempat berpikir apakah ini gejala runtuhnya moral manusia dari moral dewata menjadi moral bhutakala. Lagi pula peristiwa seperti itu bisa terjadi, karena lemahnya benteng moral kita, dan lemahnya peran prajuru desa pakraman, yang berperan sebagai lembaga pengawas. Kelemahan ini muncul dikarenakan oleh silau dengan dana sewaan kapling tanah untuk berjualan. Mereka kurang memikirkan kerugian moral yang nilainya sulit dihitung. Serta tercorengnya nama baik agama kita yang semestinya kita junjung tinggi.
Secara umum kesan yang dapat kita tangkap dari kondisi seperti itu adalah kesan pasar amal, bukan kesan religius. Kapan tumbuh kesadaran saudara-saudara kita untuk dapat mengembalikan kesan rokhani sewaktu ada pujawali di pura? Permasalahan dagang, judi dan parkir, sebenarnya dapat diatur kalau mau bekerja. Tetapi masalah judi itu betul-betul harus dijauhkan, bahkan harus dihilangkan. Bila ada mereka yang tidak setuju itu sangat wajar, karena mereka tidak memiliki wawasan ke depan dan mungkin kesucian pikirannya sudah terkontaminasi. Ada sementara anggapan orang bahwa judi sulit dihapus, memang benar, apabila moral orang sulit disadarkan untuk diarahkan ke jalan kesucian, selama seperti itu judi sulit dihapus.
Sebenarnya manusia berasal dari kesucian, harus mampu menjaga kesuciannya, untuk selanjutnya dapat kembali ke kesucian pula. Sadarlah akan hal tersebut, jangan terlalu lama kau tenggelam dalam debu dan lumpur kesengsaraan. Hindu telah banyak mendapat cemohan karena ulah seperti itu. Apa untungnya kalau dilihat dari sudat agama, jangankan untuk dari sudut agama, untuk diri sendiri aja tidak bermanfaat.
Begitulah jenis gejolak pikiran saya, melihat kenyataan sewaktu ada upacara agama, disamping saya mendengar tanggapan dari berbagai pihak tentang aktivitas agama kita, yang terkesan semrawut. Saya sempat pula membandingkan kepada tempat suci dari agama lain, sewaktu ada kegiatan agamanya rasanya tidak ada orang berdagang, berjudi, seperti di kita? Baik itu dilakukan oleh umat mereka sendiri atau dilakukan oleh umat selain dari umat mereka. Kenapa si penjudi dan si pedagang tidak pernah mengarahkan pikirannya ke sana? Sedangkan di kita setiap ada kegiatan agama diserbu oleh pedagang, dan penjudi. Ini yang paling menarik di pikiran saya.
Mudah-mudahan Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan sinar suci Beliau kepada mereka yang begitu, agar mereka cepat sadar dan kembali ke jalan yang benar. Marilah hilangkan kesan pasar amal di waktu ada kegiatan upacara, dan tumbuhkan kesan suci dan sakral.
PELAKSANAAN UPACARA AGAMA HINDU, DI LUAR PULAU BALI
Saya sering dimohon oleh umat untuk memberikan Dharma Wacana, sampai keluar Bali. Pengalaman saya, umat kita yang berada di luar Bali masih banyak kebingungan, terutama apabila mereka ingin melaksanakan upacara agama. Di sini kerap kali timbul kebimbangan, kalau sesajennya dibuat seperti di Bali, saran dan kemampuan kurang mendukung (terutama kemampuan daya ciptanya). Jika tidak sesajen itu dibuat seperti di Bali, rasanya kurang puas perasaan. Kebimbangan semacam inilah yang kerap kali membayang-bayangi. Akhirnya muncul pemikiran-pemikiran dari beberapa umat kita untuk mendatangkan bebantenan atau tukang banten dari Bali. Langkah yang ditempuh seperti ini akan sangat berdampak yang diakibatkan oleh banyaknya dana dikeluarkan. Akhirnya timbul kritik-kritik tajam dan pedas terhadap pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Antara lain; upacara yang dilakukan itu tidak tercantum di dalam veda, bahkan lempas dari ajaran veda, dan lain sebagainya. Sepertinya mereka yang berpikir seperti itu sedikit kurang menyadari bahwa, mereka secara tidak langsung sudah melecehkan leluhurnya sendiri.
Pengalaman seperti ini saya dapatkan diwaktu saya memberikan Dharma Wacana di luar Bali. Kadang-kadang di Balipun sering juga muncul pemikiran-pemikiran seperti itu. Biasanya muncul pada saat diadakan waktu tanya jawab. Tetapi saya sangat bangga sekali, adanya umat Hindu yang berpikiran kritis, tetapi perasaan saya juga sangat sedih jika kekritisan berpikir itu tidak dibarengi dengan wawasan yang luas, apalagi terhadap pikiran yang hanya bisa mengkritik saja tanpa mampu memberikan jalan keluar, mereka hanya mampu mencarikan bentuk agama Hindu itu meniru bentuk-bentuk ajaran agama lain atau ajaran kerokhanian lainnya.
Jadi bagaimana jalan keluar yang harus dan bisa ditempuh oleh umat Hindu yang berada di luar Bali, apabila mereka ingin melakukan upacara agama, dalam situasi dan kondisi seperti itu. Menurut hemat saya upacara agama harus tetap dilaksanakan, namun bentuk bantennya dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, dengan tidak menghilangkan maknanya. Maka dari itulah kita harus memahami hakikat dari banten itu sendiri. Mulai dari situlah kita akan melangkah untuk mendapatkan banten yang bentuknya sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada.
Pertama-tama harus dipahami pengertian banten itu sendiri dan maknanya. Ada beberapa sumber sastra yang menyebutkan bahwa;
”Saluwirin bebantenan maka paragayan Sang Hyang Catur Veda, Sang Hyang Catur Veda maka awanira Sang Hyang Antar (Siwa/Sang Hyang Widhi), Sang Hyang Jagat Antar maka uripin Tri Buana. Hilang ikang banten, hilang juga Sang Hyang Catur Veda, hilang Sang Hyang Catur veda, hilang juga Sang Hyang Jagat Antar, hilang Sang Hyang Jagat Antar, praline ikang rat”
Ini yang pernah saya baca di dalam lontar Rare Angon.
Artinya;
”Setiap banten yang digunakan sebagai sarana upacara merupakan simbul-simbul dari ajaran veda, ajaran veda tiada lain merupakan jalan dari Ida Sang Hyang Widhi ketika Beliau memberikan kebahagian di bumi, Ida Sang Hyang Widhi adalah jiwa di tiga alam ini. Apabila banten itu dihapus (hilang), ajaran vedapun ikut hilang, hilangnya ajaran veda, akan menghilangkan aliran kerokhanian atau ajaran ke Tuhanan, jika ajaran Ke-Tuhanan sudah hilang hancurlah alam ini.”
Demikian kurang lebih pemahaman saya terhadap arti dari sloka tersebut. Selain sloka tersebut di atas pernah juga saya membaca dalam lontar yang sama yaitu;
”Banten pinaka paragayan Ida Sang Hyang Widhi, ring sanggar surya pinaka ulunya, dangsil pinaka bau kiwa tengen, banten ring ajeng pinaka raga, banten ring panggungan jaba pinaka cokor, caru pinaka waduk”.
Artinya;
”Banten juga merupakan perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, banten di sanggar surya merupakan simbul kepala, banten dangsil merupakan tangan (lengan) kira dan lengan kanan, banten yang berada di depan (di ajeng) sebagai simbul badan, banten caru simbul perut, dan banten di panggungan jaba (penjor) simbul kaki.”
Jadi pada dasarnya banten itu adalah berfungsi sebagai simbul, yaitu simbul ajaran kerokhanian dan simbul ajaran kesucian. Selanjutnya perlu juga diketahui keberadaan banten tersebut dilihat dari bahan yang digunakan membuat banten. Banten itu dibuat dari tiga jenis bahan, yaitu;
1. Bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (tumbuh)
2. Bahan yang berasal dari binatang yang bertelur (bertelur)
3. Bahan yang berasal dari binatang yang beranak (beranak)
Ketiga-tiganya ini mewakili isi alam ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apabila ada umat yang bertanya, kenapa membuat banten harus mengorbankan binatang (membunuh)? Apakah itu tidak melanggar ajaran Ahimsa? Sebenarnya pertanyaan seperti ini sangat berbobot. Tetapi apakah mungkin kita melaksanakan sesuatu tidak dengan jalan membunuh? Membuat rumah, pasti melalui membunuh. Yaitu membunuh kayu, bambu dan lain sebagainya untuk keperluan membangun rumah. Karena ajaran ahimsa itu tidak terbatas hanya kepada binatang saja, ajaran tersebut berlaku untuk semua mahkluk ciptaaNya. Memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu bukan hanya berarti membunuh saja, termasuk menyakiti melalui kata-kata itu pun melanggar ahimsa. Kalau kita terapkan ajaran itu secara sepotong-sepotong, kita sendiri akan bingung, dan manusia tidak akan bisa hidup.
Kembali pada pengorbanan binatang dan yang lainnya dalam yadnya, itu tergantung pada niat kita. Kalau niat kita pada waktu membunuh itu berdasarkan kebencian, kesombongan, kemarahan, dan segala sifat yang sejenis itu, baru tergolong himsa karma. Sebaliknya pada waktu mempersiapkan yadnya semua sifat-sifat seperti itu tidak ada. Saya pernah baca dalam kitab Wrti Sesana, membunuh binatang dibolehkan, jika untuk keperluan yadnya dan untuk dimakan. Di dalam cerita pewayangan (Ramayana dan Mahabratha). Semua tokoh-tokoh utamanya pernah membunuh. Seperti Yudistira, Arjuna (atas petunjuk Krisna), Bima, Bahkan Bhagawan Bisma, Bhagawan Drona dan lain sebagainya. Demikian pula dalam cerita Ramayana, Sri Rama dan Trunalaksaman juga pernah membunuh. Mungkin membunuh ini Beliau lakukan untuk kemenangan Dharma. Demikian pula umat Hindu membunuh untuk yadnya demi kemenangan Dharma.
Selanjutnya kita akan melihat banten itu dari sudut bentuk, terutama bentuk sarana yang digunakan. Setiap sarana banten sebelum disajikan pasti dibentuk. Jika kita perhatikan bentuknya hanya ada tiga bentuk, yaitu;
• Segi tiga
• Segi empat
• Bundar
Ini simbul dari Tri Buana (Bhur, Bwah, Swah). Selanjutnya dapat dilihat dari kondisi bahan yang digunakan;
• ada yang digunakan dalam kondisi masih mentah
• ada yang sudah masak (tasak)
• ada yang dalam kondisi yang sudah matang (lebeng)
Kesemuanya itu mengandung arti filsafat (tattwa). Dimana-mana bahan banten itu sama seperti yang telah diuraikan di atas.
Mengenai bentuk banten itu sangat berbeda-beda dan rumit, itu tergantung dari budaya dan seni setempat. Semakin tinggi unsur budaya dan seni setempat semakin meriah dan semakin megah penampilan bantennya, juga semakin rumit jika diperhatikan. Demikian pula sebaliknya, karena penampilan banten sangat tergantung dari budaya dan seni daerah setempat. Manusia akan menampilkan sajiannya semaksimal mungkin, untuk yang mereka hormati dan yang mereka banggakan. Misalnya kalau kita kedatangan tamu terhormat, kita akan menampilkan sesuatu yang paling istimewa, mulai dari menyambut, hidangan makanan, minuman dan lain sebagainya, bila perlu hiburan yang paling bagus juga. Apalagi terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Oleh karena demikian masalahnya, bagi umat Hindu yang berada di luar pulau Bali, untuk membuat banten berpegang pada tattwa yang telah diuraikan di atas tadi. Mengenai bentuk, itu bisa disesuaikan dengan kondisi daerah setempat, Apa bila ada yang merasa tidak puas dan berkeinginan mengikuti bentuk banten seperti di Bali itu adalah hak anda, asalkan jangan mengeluh. Apalagi menjelek-jelekan Bali, tindakan atau prilaku seperti itu sangat disayangkan sekali. Semestinya anda harus bersyukur saudara-saudara kita di Bali bisa mempertahankan warisan para leluhur kita, yang sudah terbukti dapat memberikan kebahagiaan bagi setiap manusia. Bagi umat Hindu yang berada di luar Bali, saya sarankan agar berbuat sesuai dengan keberadaan daerah di mana anda berada. Jangan Bali yang sudah tenang-tenang , bahagia, di kutak-kutik lagi.
Demikianlah kata hati saya untuk mengenang Bali dan agama Hindu, semoga para pembaca dapat menyimak maknanya yang lebih mendalam. Pada intinya saya mengajak saudara-saudara untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan, memelihara wilayah dan lingkungan kita, berbakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur, dengan cara berkarma demi anak cucu kita di kemudian hari.
Kita sudah banyak diberi oleh Bali dan Agama Hindu. Sudahkan kita pernah memberi? Apa yang kau pernah perbuat untuk agama Hindu dan Bali? Pertanyaan seperti ini yang paling sering saya ucapkan dalam hati, untuk menumbuh-kembangkan rasa bertanggung jawab terhadap para leluhur dan kepada generasi penerus kita nanti.
JANGAN SALAH OTON
Om Swastiastu.
Oleh karena sering sekali saya mendapat pertanyaan tentang oton baik saat Dharma Wacana, maupun datang langsung ke Griya, maka saya memandang perlu menulis disini. Adapun oton itu sangat penting diperingati dan diingat karena menyangkut kehidupan dikemudian hari, misalnya bila ingin mebayuh oton, mencocokan neptu oton dari calon pengantin, dan sangat penting pula mencari jalan keluar permasalahan berumah tangga yang kurang harmonis, sebab dari neptu oton masing-masing pasangan suami istri itu juga dapat menjadi sebab nasib pernikagannya. Maka dari itu jangan salah maoton. Oton itu adalah memperingati hari lahir, saat kapan lahir, saat itulah oton selanjutnya. namun masih banyak yang keliru maoton karena kurang memahami pergantian hari dari tahun saka dan pergantian hari tahun masehi disini biasanya terjadi kekeliruannya. BILA TAHUN SAKA PERGANTIAN HARINYA SETELAH JAM 6.OO PAGI ( ISTILAH BALINYA SETELAH GALANG TANAH ). MISALNYA; SOMA ITU MULAI JAM 6.00 PAGI, DAN BERAKHIR PADA JAM 6.00 PAGI BESOKNYA. BILA TAHUN MASEHI; SENIN ITU MULAI JAM 00.00 MALAM, DAN BERAKHIR JAM 00.00 MALAM BESOKNYA. Jadi senin dan Soma itu berjalan bersama-sama mulai jam 6.00 pagi, setelah jam 00.00 malam Senin digati oleh Selasa, namun Soma masih berjalan sampai jam 6.00 pagi baru diganti oleh Anggara. Sehingga bila ada bayi lahir setelah jam 00.00 malam, biasanya salah oton, sebab keterangan dokter pada surat kelahirannya pasti menggunakan tahun masehi itu benar (untuk ulang tahun), Namun otonnya mengikuti perputaran hari menurut tahun saka. Misalnya; Si A. bayinya lahir hari Selasa tg 14 Mei 2013 jam 1.00 malam. Maka otonnya Anggara Pon Merakih, bukan Buda Wage Merakih. kalu mau ulang tahun ya baru tgl 15 Mei. Semoga melalui tulisan ini dapat membantu saudara yang sedang memerlukannya. Om Santih,Santih,Santih, Om.
Hari PURNAMA dan TILEM
Om Swastiastu.
Saya memandang sangat perlu menulis disini tentang hari purnama dan hari tilem, agar hari suci tersebut tidak terlewati begitu saja.
Adapun hari purnama dan tilem itu datangnya masing-masing 30 hari sekali. Pada hari ini disebut hari sesucian terhadap sang Hyang RwaBhineda, yaitu; Sanghyang Surya dan Sanghyang Ratih. Kalau hari purnama, Sanghyang Sanghyang Ratih (Bulan) beryoga, kalau hari tilem Sanghyang Surya beryoga. Dengan demikian pada hari tersebut bagi para Sulinggih, dan para umat Hindu patut melakukan penyucian diri (asuci laksana), juga menghaturkan sesaji; wangi-wangian, canang di haturkan di merajan dan di pelangkiran dengan tujuan agar para Dewata dan para leluhur senantiasa menuntun hidup kita kearah yang lebih baik, selanjutnya bagi para sulinggih melakukan penujaan dan persembahyangan di pagi hari, demikian pula umat agar melakukan persembahyangan di pagi hari, memuja kebesaran Tuhan dan memohon hampun atas segala kesalahan kita serta memohon tuntunan. Jangan lupa mohon air suci (wangsuh pada). ( Sumber Sundarigama hal. 8. Koleksi pribadi.)
SELAMAT MELAKONI, UNTUK KEBAIKAN DIRI KITA.
TAMBAHAN;
SETIAP HARI PREWANI (SEHARI SEBELUM TILEM DAN SEHARI SEBELUM PURNAMA), DI PASRAMAN MENGADAKAN DHARMA WACANA, SEBAGAI NARA SUMBER IDA PEDANDA NABE. KAMI MENGUNDANG SUADARA-SAUDARA YANG BERMINAT UNTUK DATANG (TANPA BAYAR). SAAT ITU DIBUKA KESEMPATAN TANYA - JAWAB DAN DISKUSI SELUAS-LUASNYA.
Mendidik Anak Dalam Konsep Hindu
Om Swastiastu,
Anak merupakan anugerah. Dalam pandangan Agama Hindu, seorang anak merupakan pewaris sekaligus penyelamat bagi orang tua dan para leluhur. Begitu pentingnya peran dan kedudukan seorang anak, maka setiap keluarga tentu mengharapkan lahirnyaseorang anak yang suputra, seorang anak yang berwatak dan berkarakter baik, berbakti kepada orang tua dan leluhur serta taat kepada ajaran agama. Watak dan karakter seorang anak sesungguhnya dapat dibentuk melalui pendidikan. Ibarat kertas putih bersih, maka seperti itulah perumpamaan bagi seorang anak yang baru lahir. warna, corak dan karakternya tergantung dari goresan pendidikan yang diberikan dalam hal ini pendidikan oleh orang tua dan lingkungan.
Dalam konsep Hindu, mendidik seorang anak dimulai semenjak dalam kandungan. Hal ini termuat dalam lontar Semara Reka dan Angastya Prana. Untuk dapat mendidik anak agar menjadi seorang yang suputra, maka terlebih dahulu orang tualah yang harus merubah dirinya menjadi orang tua yang baik. Karena itu dianjurkan dalam satra agar seorang ibu mengandung setelah melalui proses upacara perkawinan. Disamping menghindari pengaruh beban psikis jika hamil sebelum melangsungkan upacara perkawinan, setelah melalui upacara perkawinan maka sanghyang kama ratih dalam diri orang tua telah disucikan sebelum bertemu dan menjadi benih. Hal ini sangatlah penting karena ibarat menanam benih maka benih dan ladang harus dibersihkan dan disucikan terlebih dahulu untuk mendapat hasil yang baik.
Mendidik anak semasih di dalam kandungan atau yang diistilahkan prenatal, dimulai dari pembenahan pola fikir dan sikap kedua orang tua. Saat mengandung maka kedua orang tua sesungguhnya sedang beryoga untuk mampu mengekang dan menghindari segala sesuatu yang tidak baik agar tidak berpengaruh pada janin. Wanita hamil diharuskan untuk terhindar dari perasaan yang kuat, misalnya marah, sedih, terlalu bergembira, terlebih lagi sampai bertengkar saat hamil karena perasaan tersebut akan mempengaruhi perkembangan dan karakteristik si bayi.
Masa - masa ngidam bagi wanita hamil merupakan sebuah ujian bagi para calon ayah. Banyak para calon ayah yang sering tidak memperhatikan istri hamil yang sedang dalam masa ngidam, dan itu merupakan salah satu pendidikan yang salah. Karena sesungguhnya saat itu si calon bayi sedang menguji keteguhan sang calon ayah untuk membuktikan bahwa dia adalah seorang yang pantas dan bertanggung jawab untuk dijadikan orang tua. Jika sampai ada calon ayah yang mengabaikan istri pada saat hamil, maka akan lahir seorang anak yang berani kepada orang tua, hal ini seperti termuat dalam lontar Semara Reka dan Angastya Prana.
Masa kehamilan adalah masa yang penting untuk mendidik si calon bayi. Maka dari itu tidak diperbolehkan memarahi wanita hamil, menipu, atau bahkan mengagetkan wanita hamil. Seperti termuat dalam tatwa cerita tentang Ida Bhatara Dewi Uma yang pada waktu beliau hamil sempat dikagetkan olah gajah sehingga saat melahirkan maka lahirlah putera beliau sang ganesha yang berkepala gajah. Cerita ini sesungguhnya menjelaskan kepada kita bahwa seberapapun beratnya kondisi, rasa emosi dan perasaan yang tidak baik lainnya, maka semua itu harus dikendalikan karena seperti yang pedanda jelaskan di atas, masa kehamilan adalah masa beryoga bagi kedua orangtua.
Setelah pendidikan dalam kandungan, maka ada pendidikan setelah bayi lahir atau yang diistilahkan pascanatal. Dalam konsep ajaran Hindu, seorang anak yang baru lahir hingga berusia enam tahun tak ubahnya seperti seorang dewa, maka perlakukanlah dia seperti seorang dewa. Tidak diperbolehkan melakukan kekerasan terhadap anak usia tersebut baik itu berupa kekerasan kata - kata maupun fisik. Pendidikan seorang anak dalam fase seperti dewa telah diterapkan oleh para leluhur kita sejak lampau, oleh karena itu jika kita lihat implementasinya di masyarakat, misalnya tidak ada akan ada orang yang marah jika ada anak kecil mempermaikan kepala kakeknya, atau anak kecil yang bermain di atas bantal tempat tidur.
Ketika si anak sudah menginjak usia enam sampai dua belas tahun maka seorang anak tidak ubahnya seperti seorang raja, dia sudah mulai meminta ini dan itu. Sebisa mungkin orang tua harus menuruti, tentunya dalam batas batas yang wajar. Jika anak agak nakal maka harus dinasehati dengan sabar dan dengan kasih sayang seperti menasihati seorang raja, karena dalam masa ini seorang anak sedang mengembangkan kemampuan otaknya sehingga memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi.
Saat anak sudah berusia dua belas tahun hingga tuju belas tahun maka seorang anak harus mulai diajarkan disiplin. Seorang anak harus mulai diberi tugas dan tanggung jawab. Ajari anak untuk melakukan tugasnya dengan bertanggung jawab. Misalnya diberi tugas menyapu, mengepel, mebanten dan sebagainya. Dalam masa ini orang tua harus bisa menerapkan ajaran Catur Naya Sandhi yaitu sama, beda, dhana dan danda. Kapan orang tua harus berposisi sama dan sejajar dengan anak (sama), kapan harus memposisikan diri berbeda dengan anak yaitu sebagai seorang guru dan pendidik sekaligus pengawas (beda), kapan saatnya orang tua harus memberikan hadiah kepada anak sebagai motivasi bagi si anak (dhana) dan kapan saatnya kita memberikan hukuman kepada anak (danda). Harus dipahami saat – saat yang tepat untuk menjalankan fungsi di atas.
Setelah anak berusia diatas tuju belas tahun, maka orang tua harus bisa memposisikan diri sebagai seorang sahabat bagi anak – anaknya. Saat dewasa seorang anak sudah mulai mengikuti kata hatinya, sehingga orang tua harus mampu memahami kondisi tersebut. Dengan bersikap seperti sahabat bagi si anak, maka akan ada keterbukaan antara orang tua dan anak sehingga orang tua akan lebih mudah mengontrol dan menasehati si anak. Sudah tidak tepat lagi dalam usia tersebut untuk memarahi dan mengekang anak seperti memarahi anak kecil. Hal tersebut justru akan membuat anak semakin jauh dan tertutup dengan orang tua.
Om, Santih, Santih, Santih, Om
Komentar
Posting Komentar