Intisari Pemikiran Ida Pedanda Gede Made Gunung 6

DAMAI ITU SANGAT INDAH.



OM SWASTIASTU, OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.


Akhir-akhir ini semakin bermunculan peristiwa yang sangat mengerikan yaitu; perkelahian, tawuran, baik secara individu maupun antar kelomppok. Justru yang berklahi itu adalah mereka yang masih bersaudara, apakah bersaudara sesama orang Bali, bersaudara sesama Bangsa Indonesia, pokoknya bersaudara sesama manusia.

Katanya semua orang sangat senang dengan situasi yang DAMAI.......!!!!!!! KENAPA TIDAK BISA DAN TIDAK MAU MEMBUAT DAMAI????? Mungkin dia salah menerjemahkan DAMAI itu sendiri. Damai menurut mereka itu adalah damai dengan teman-teman yang seide atau teman seorganisasi saja. Tak perduli dengan yang lain. Dan mereka tidak pernah berpikir; KALAU KITA MENANG, APA HASILNYA YANG BISA DIWARISKAN KEPADA KETURUNAN KITA NANTI?

Saya punya teman, dia dulunya sangat senang berkelahi dijalanan, dan selalu menganggap dirinya paling benar,paling kuat, paling banyak punya teman dsb. Nah sekarang dia sudah punya anak sedang remaja, anaknya juga meniru sifat bapaknya diwaktu muda. Lalu teman saya itu menasehati anaknya agar tidak bersifat seperti itu, jangan menjadi langganan sel polisi. lalu apa kata anaknya; SAYA BERSIFAT SEPERTI INI ADALAH WARISAN DARI SIFAT BAPAK DULU, APAKAH SAYA SALAH, KALAU SAYA SALAH KENAPA BAPAK MEWARISKAN SIFAT SEPERTI INI KEPADA SAYA? katanya ada pepatah mengatakan; kalau kita anak ikan (nyalian), minimal kita harus bisa berenang, jangan sampai anak ikan mati berenang. Sehingga saya tidak mau dikatakan anak orang lain, makanya saya meniru sifat bapak agar saya dipercaya sebagai anak bapak yang asli. Lalu teman saya itu tidak punya jawaban, hal ini dia sampaika kepada saya, dan saya sulit memberi pandangan.

Saudara-saudaraku semua, marilah kita mulai belajar berbuat damai sesuai dengan kemampuan kita. Janganlah kita mati meninggalkan belang seperti harimau. Mari kita mati meninggalkan gading seperti gajah. Terutama saudaraku sesama orang Bali, sadarlah kita bahwa yang kita ajak berkelahi itu adalah saudara kita sendiri, janganlah mewariskan hal-hal yang tidak baik kepada keturunan kita nanti. Boleh kalian berorganisasi, namun tujuannya membuat kedamaian bersama, mari kita bergandengan tangan. Perkelahian itu hanya cocok di jaman penjajah, untuk menentang penjajah dan mencapai kemerdekaan, itu sudah dilakukan oleh leluhur kita para pejuang kemerdekaan NKRI, dan hal itu sudah lewat, sekarang kita tinggal mengisinya, sesuai dengan cita-cita Beliau para pejuang yang telah rela darahnya mencuci bumi pertiwi. Sekarang mari kita berkelahi dengan kebodohan dan mengusir kemiskinan.

Saya punya usul kepada saudara baik dari kelomok mana saja dan siapa saja, mari kita membikin acara bersama, bergandengan tangan menuju kedamaian, saya mau ikut kok.

HENTIKAN SIFAT-SIFAT ANARKIS, CINTAILAH NEGARAMU, CINTAILAH BANGSAMU, CINTAILAH SUKUMU, DAN CINTAILAH AGAMAMU TERAKHIR CINTAILAH TUHANMU.

Sekian dan terima kasih,
OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM




GUNUNG, DANAU, SUNGAI, HUTAN, LAUT.

Om Swastiastu. Om Awignamastu.

Agama Hindu seperti yang sering saya kemukakan saat Dharma Wacana, maupun di media ini, memiliki banyak konsep yang mampu menuntun kita menuju kebahagiaan lahir dan bhatin. Salah satu dari konsep itu adalah; KONSEP MEMANUSIAKAN ALAM DAN LINGKUNGAN. Sehingga hal tersebut di Bali Khususnya ada hari-hari tertentu untuk menghormati ciptaan Tuhan dan bersyukur atas anugrah Tuhan, seperti Hari Tumpek Uduh, mendo'akan tumbuh-tumbuhan, Tumpek kandang (andang), mendo'akan hewan, dan yang lainnya lagi. Termasuk adanya upacara Sad Kertih; wana kertih, segara kertih, danu kertih, dll. Semuanya itu merupakan sebuah ajaran yang semestinya di wujud nyatakan di dalam kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku dan prilaku, tidak hanya sebatas upacara saja.

Setiap upacara itu mengandung makna yang sangat perlu dipraktekkan di dalam kehidupan kita. Kembali kepada pokok pembahasan tadi, tentang tempat-tempat seperti tersebut sudah diyakini sebagai tempat yang disucikan, antara lain ; Gunung, Danau, Hutan, dan Laut. Bila unsur-unsur ini kita abaikan dan kita rusak maka sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita.

Secara keyakinan dan termuat pula di dalam Siwatattwa, Gunung itu juga disebut LINGGA CALLA. Diyakini sebagai Linggih Ida Bhatara Siwa, Danau dan laut juga disebut YONI, sebagi simbul pradana diyakini sebagai linggih Dewi Danu (Dewi Uma), dan Sungai itu disejajarkan dengan sungai Gangga, sebagai stana Dewi Gangga, Maka dari itu janganlah menerusakan kebiasaan yang buruk membuang sampah, kotoran limbah ke sungai, akibatnya kita juga yang akan merasakan.

Yang terakhir adalah hutan, mengenai hutan ini ceritanya ada di Kekawin Boma kawya, hutan itu hasil pertemuan Dewa Wisnu dengan Bhatari Bahsundari (Pertiwi), secara ilmiah juga para ilmuwan menyebutkan hutan merupakan paru-paru dunia, banyak lagi manfaat hutan bagi kehidupan manusia.

Oleh karena itu marilah kita meyakini dan mempraktikan ajaran MEMANUSIAKAN ALAM DAN LINGKUNGAN, namun sebelumnya kita harus mampu memanusiakan diri kita sendiri sebelum memanusiakan yang lainnya. Untuk kepentingan kita bersama dan kepentingan masa depan anak cucu kita. S e k i a n.
Om Santih, Santih, Santih. Om.


Foto: GUNUNG, DANAU, SUNGAI, HUTAN, LAUT.

Om Swastiastu. Om Awignamastu.

Agama Hindu seperti yang sering saya kemukakan saat Dharma Wacana, maupun di media ini, memiliki banyak konsep yang mampu menuntun kita menuju kebahagiaan lahir dan bhatin. Salah satu dari konsep itu adalah; KONSEP MEMANUSIAKAN ALAM DAN LINGKUNGAN. Sehingga hal tersebut di Bali Khususnya ada hari-hari tertentu untuk menghormati ciptaan Tuhan dan bersyukur atas anugrah Tuhan, seperti Hari Tumpek Uduh, mendo'akan tumbuh-tumbuhan, Tumpek kandang (andang), mendo'akan hewan, dan yang lainnya lagi. Termasuk adanya upacara Sad Kertih; wana kertih, segara kertih, danu kertih, dll. Semuanya itu merupakan sebuah ajaran yang semestinya di wujud nyatakan di dalam kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku dan prilaku, tidak hanya sebatas upacara saja.

Setiap upacara itu mengandung makna yang sangat perlu dipraktekkan di dalam kehidupan kita. Kembali kepada pokok pembahasan tadi, tentang tempat-tempat seperti tersebut sudah diyakini sebagai tempat yang disucikan, antara lain ; Gunung, Danau, Hutan, dan Laut. Bila unsur-unsur ini kita abaikan dan kita rusak maka sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita.

Secara keyakinan dan termuat pula di dalam Siwatattwa, Gunung itu juga disebut LINGGA CALLA. Diyakini sebagai Linggih Ida Bhatara Siwa, Danau dan laut juga disebut YONI, sebagi simbul pradana diyakini sebagai linggih Dewi Danu (Dewi Uma), dan Sungai itu disejajarkan dengan sungai Gangga, sebagai stana Dewi Gangga, Maka dari itu janganlah menerusakan kebiasaan yang buruk membuang sampah, kotoran limbah ke sungai, akibatnya kita juga yang akan merasakan.

Yang terakhir adalah hutan, mengenai hutan ini ceritanya ada di Kekawin Boma kawya, hutan itu hasil pertemuan Dewa Wisnu dengan Bhatari Bahsundari (Pertiwi), secara ilmiah juga para ilmuwan menyebutkan hutan merupakan paru-paru dunia, banyak lagi manfaat hutan bagi kehidupan manusia.

Oleh karena itu marilah kita meyakini dan mempraktikan ajaran MEMANUSIAKAN ALAM DAN LINGKUNGAN, namun sebelumnya kita harus mampu memanusiakan diri kita sendiri sebelum memanusiakan yang lainnya. Untuk kepentingan kita bersama dan kepentingan masa depan anak cucu kita. S e k i a n.

Om Santih, Santih, Santih. Om.


Kewangen

Om Swastiastu.

Oleh karena sangat seringnya digunakan kewangen ini sebagai sarana upacara khusus bagi umat Hindu di Bali dan pada umumnya sekarang di Indonesia, dan kemunculannya juga di setiap upacara agama Hindu, maka sering pula menjadi pertanyaan oleh umat. Keadaan seperti itulah saya sangat berkeinginan untuk menyumbangkan pikiran tentang kwangen itu sendiri dengan harapan semoga melalui sumbangan pikran saya ini dapat menghilangkan kebingungan bagi saudara yang sama sekali belum memahaminya.

PENGERTIAN;
Kewangen itu adalah kata jadian, kata dasarnya adalah WANGI,mendapatkan prefik Ka dan sufik AN, maka menjadi; Ka + wangi +an = ka(e)wangian. i + a = e, menjadi Kewangen. Oleh karena kata dasarnya itu WANGI, yang mana wangi itu identik dengan bau yang disenangi dan bau yang dicintai, mungkin dibutuhkan oleh setiap manusia yang normal (Kewangen), maka itu pula yang menyebabkan kewangen itu disebut dan digunakan sebagai simbul yang dapat mewakili Tuhan dalam pikiran umat. Jadi kesimpulannya Kewangen itu adalah simbul Tuhan juga disebut simbul dari huruf Ongkara (hurup Bali) yang juga disebut simbul Tuhan dalam bentuk huruf.

NAMA, BENTUK, DAN SIMBUL DARI SARANANYA.

1. KOJONG, biasanya dibuat dari daun pisang, dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk kojong. Kojong ini bila kita tekan sampai lempeh maka dia akan berbentuk segi tiga, maka kojong menyimbulkan angka tiga Huruf Bali (lihat huruf Ongkara Bali).

2.PEKIR, dibuat sedemikian rupa menyerupai hiyasan kepala dari tarian jangger (tarian muda-mudi di Bali).dibuat dari daun janur. Bentuknya bisa kelihatan bermacam-macam , itu sangat tergantung dari seninya yang membuat. Ini merupakan simbul dari ULU ARDHA CANDRA dan NADA (tulisan huruf Bali).

3. UANG KEPENG (pipis bolong), bila tidak ada uang kepeng, maka bisa digunakan uang logam, sebab uang kepeng itu yang dipentingkan adalah bentuknya yang bundar, sebagai simbul WINDU (nol). Perlu ditekankan disini jangan menggunakan uang kertas yang diplintir akan mengurangi arti dan makna.

4. POROSAN, ini ditempatkan di dalam kojong tadi hampir tidak kelihatan dari luar. Porosan ini yang terpenting adalah terdiri dari tiga unsur yaitu; daun sirih (daun lain yang wajar digunakan), daun ini yang dicari maknanya adalah warnanya yaitu berwarna Hijau, merupakan simbul dari dewa Wisnu, Huruf Balinya adalah UNGKARA, Kemudian buah sirih yang disisir sedemikian rupa, ini mewakili warna merah, simbul dari Dewa Brahma, huruf Balinya ANGKARA. Selanjutnya unsur yang ketiga adalah kapur sirih warnanya putih sibul dari dewa Iswara (Siwa), Huruf Balinya adalah MANGKARA. Ketiga-tiganya itu dijarit semat atau diikat pakai menang menjadi satu, artinya seperti uraian dibawah ini.
Jadi tiga huruf itu; A.+ U + M = AUM MENJADI ONG ( A dan U kasewitrayang dalam tata bahasa Bali). Maka ONG itu adalah huruf sebagai simbul dari Tuhan.

BUNGA, ini sembul dari rasa cinta dan rasa bhakti.
Kesimpulannya Kewangen (bisa dibaca kwangen) adalah merupakan simbul dari Tuhan dalam bentuk tetandingan (sarana upacara).

PENGGUNAANNYA;
Oleh karena kewangen itu merupakan sarana upacara yang digunakan disetiap upacara terutama saat sembahyang dan sarana ini dianggap suci, maka sering menjadi pertanyaan antara lain; Kenapa kewangen yang suci itu (simbul Tuhan) kok digunakan/ diletakan di mayat dan di caru? Jawabannya; Nah kalau kita berpijak kepada defenisi kewangen sebagai simbul Tuhan, maka Tuhan itu berada dimana-mana dan menyusup kesemua ciptaannya (baca Tattwa Jnana). Maka dari itulah kewangen digunakan disetiap upacara.

CARA MENGGUNAKAN KEWANGEN DISAAT SEMBAHYANG.
Secara kenyataannya di saat sembahyang umat bermacam-macam caranya menggunakan kewangen, terutama posisinya. Ada yang uang kepeng (sebagai mukanya/depannya) ada yang menghadap kedepan, ada yang menghadap kekiri/kekanan, ada pula yang menghadap ke belakang (menghadap ke yang sembahyang/orang). lalu muncul berbagai pertanyaan dan berbagai penafsiran, maka yang benar (menurut lontar paniti gama tirtha pawitra), uang kepengnya menghadap kebelakang/ menghadap ke orang yang sembahyang itu yang benar.

Demikianlah sekilas penjelasan tentang kewangen, mudah-mudahan ada manfaatnya. Terima kasih atas perhatian saudara.
Om, Santih, Santih, Santih, Om


PENDIDIKAN PRANATAL DALAM AGAMA HINDU

Om Swastiastu.
Bila kita cermati semua agama termasuk semua ajaran yang meyakini Kemaha Kuasaan Tuhan merupakan sebuah pendidikan di dalam meningkatkan kesadaran dan meningkatkan moralitas untuk mencapai kedamaian abadi (Sekala dan Niskala ). Untuk itu agama Hindu mengajarkan cara mendidik anak sedini mungkin semasih janin dalam kandungan. Sebab itu merupakan pendidikan yang sangat mendasar yang nantinya bisa menunjang pendidikan yang lain setelah bayi itu lahir. Adapun kitab penuntunnya untuk pendidikan anak sebelum lahir ( Pendidikan Pranatal ) terdapat pada kitab; Angastyaprana dan kitab Smarareka. Di dalam kedua kitab tersebut dinyatakan bahwa mendidik anak itu dimulai sejak bayi masih di dalam kandungan, bahkan dimulai sejak calon ibu ngidam.

Sebelum mengarah kepada materi tersebut, maka sangat perlu diketahui tahapan ibu hamil menurut kitab itu antara lain;

1. Liwat.Artinya calon ibu tidak kotor kain lagi, berarti itu sudah terjadi pembuahan ( spermatosoit membuahi sel telur ibu ).

2. Mandeg. Artinya; sel telur yang terbuahi sudah menempel di dinding kandungan ibu.

3. Ngidam. artinya pembuahan sudah semakin membesar, sudah terjadi pemecahan sel-sel dalam kandungan.

4. Hamil. artinya; sudah terjadi pembentukan kelengkapan organ tubuh.

Pada saat seperti ini si janin sangat tergantung pada ibu tentang; makanannya, nafasnya, bahkan pikirannya, semua itu sangat dipengaruhi oleh kondisi si ibu. Maka dari itulah dimasa-masa seperti ini calon orang tua (calon bapak dan calon ibu ), harus berhati-hati dan waspada misalnya; calon bapak jangan sampai membikin pikiran ibu itu jengkel, marah sakit hati dll. Sedapat mungkin si calon ibu dibuat bahagia, damai sesuai dengan kemampuan kita. Demikian pula calon ibu jangan bermanja-manja, jangan menonton atau membaca cerita horor, cabul, berita mengerikan dan yang sejenisnya. Berusahalah melakukan sesuatu itu yang dapat menyejukan hati. Sebab semuanya ini akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak di kemudian hari.

Demikian secara singkat saya tulis, dan semuanya ini dapat dijabarkan sendiri-sendiri sesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Harapan saya agar semua calon bapak dan calon ibu mengetahui dasar-dasar pendidikan untuk membentuk anak suputra. Bila hal ini dianggap penting oleh para pembaca, maka nanti saya akan lanjutkan lagi sampai bayi itu lahir, bagai mana cara mendidik sesuai tahapan umur menurut petunjuk sastra Hindu.

Terima Kasih atas perhatiannya. Semoga yadnya saya ini dapat diterima dan bermanfaat untuk kita semua.


PENDIDIKAN PRANATAL LANJUTAN 1

OM SWASTIASTU.

Selanjutnya saya akan mulai dari hamil setelah berumur 6 bulan saka, pada waktu hamil telah menginjak umur 6 bulan saka maka para Dewata telah lengkap menganugrahi organ tubuh manusia ( lontar Angastyaprana), maka calon ayah dan calon ibu sudah menyiapkan diri untuk melakukan upacara magedong-gedongan, cari hari baik dengan cara mohon petunjuk kepada beliau yang mengetahui dan pantas memberikan kita petunjuk, termasuk urutan upacaranya dan banten yang diperlukan.

Bagi sudara yang tidak memungkinkan melakukan upacara yang berkapasitas besar, boleh dilakukan dengan sederhana, misalnya; hanya dengan menghaturkan pejati di sungai/disumur, yang dipuja Dewi Gangga, dan pejati lagi satu kehadapan Bhatara Hyang Guru, di sungai mohon air untuk mandi atau hanya untuk mesirat saja dan banten tataban sesuai kemampuan.

Upacara magedong-gedongan ini mempunyai makna; bersyukur dan berterima kasih kehadapan Tuhan atas segala anugrahnya. Dan mendo'akan janin yang lahir nanti selamat dan sempurna, juga merupakan salah satu unsur pendidikan pranatal kepada janin yang masih di dalam kandungan dengan upacara ini secara rokhani dia nantinya lahir menjadi anak yang taat beragama Hindu dan tidak mudah pindah agama dan merupakan tindak lanjut dari upacara pernikahan kedua calon orang tuannya. (catatan; bagi yang tidak diupacarai megedong-gedongan karena sesuatu hal juga ditekankan mereka sebagai anak yang taat beragama Hindu, karena pernikahan calon orang tuanya melalui upacara agama Hindu karena mereka harus taat beragama Hindu). Hal ini perlu disebar luaskan untuk memberi pengertian kepada anak kita agar mereka tidak gampang pindah agama.

Selanjutkan calon orang tua menunggu kelahiran anaknya, menunggu kelahiran tersebut agar menyiapkan diri untuk belajar dan bertanya tentang tatacara mengubur ari-ari ( nanem ari-ari ). Tentang tatacara nanem ari-ari akan ditulis khusus, sebab banyak hal yang perlu disiapkan dan dipahami. Disamping itu mengenai ari-ari itu sangatlah penting sebab sangat erat kaitannya dengan ajaran catur sanak ( kanda pat ). Makanya saudara yang Beragama Hindu seperti di Bali hal ini mendapat perhatian khusus. Ceritanya dapat dibaca di dalam kitab/lontar Sundari Gading, dan kitab/lontar Ampel Gading.

Ada beberapa masalah yang perlu diluruskan tentang pelaksanaan upacara magedong-gedongan yaitu; ada anggapan bahwa upacara magedong-gedongan hanya dilakukan oleh wangsa tertentu, anggapan seperti ini tidak benar sebab upacara magedong-gedongan adalah upacara manusa yadnya yang pertama dan dilakukan terhadap ibu yang hamilnya sudah berumur. Satu lagi ada anggapan upacara ini hanya dilakukan sekali saat hamil pertama, hamil selanjutnya tidak perlu, anggapan inipun masih keliru, sebab setiap hamil semestinya dilakukan upacara ini. Terima kasih atas perhatiannya bila ada pemahaman yang berbeda tentang upacara ini mari kita diskusikan untuk mencari jalan keluar yang baik.
Om Santih, Santih, Santih Om


MENDEM ARI-ARI (NGUBUR ARI-ARI).

Om Swastiastu.
Kelanjutan dari tulisan saya tentang pendidikan pranatal yang lalu sekarang saya sambung dengan mendem ari-ari. Apa yang saya tulis disini bersumberkan kepada kitab/lontar Angatyaprana, mungkin para pembaca yang memiliki sumber lain akan mungkin menemui adanya kelainan dari apa yang saya tulis disini. Bila hal itu terjadi maka sepenuhnya saya serahkan kepada para pembaca untuk memilihnya sesuai dengan keinginan sendiri untuk digunakan sebagai landasan. Tulisan ini dibuat untuk membantu saudara kita yang belum menemui sumber yang pasti. Seba acara mendem ari-ari ini sangat penting, sebab ada kaitannya dengan ajaran Catur Sanak (sumber lontar Sundari gading). Semoga apa yang saya tulis ini dapat membantu saudara yang memerlukan.

I. PERSIAPAN SARANA;

Bagi saudara yang sedang memiliki istri hamil tua, maka calon bapak sudah menyiapkan sarana untuk mendem ari-ari, agar nanti tidak kelabakan, antara lain; 1. Buah kelapa yang sudah tua, pilih yang agak besar satu biji. 2. Ijuk (dari pohon enau). 3. Kain putih secukupnya. 4. Minyak wangi. 5. Anget-anget (katik cengkeh, jebugarum dsb.). 6.lontar tulis. 7. Madu secukupnya. 8. Bunga-nguaan yang harum-harum. 9. air kumkuman. 10. Batu hitam (batu bulitan sebesar buah kelapa). 11. Pohon pandan berduri.

II. TATACARA MENDEM ARI-ARI.

Setelah bayi lahir, maka ari-arinya dibawa pulang, sesampainya di rumah lalu si bapak bayi tersebut mencuci ari-ari itu memakai air biasa dan boleh menggunkan sabun sampai bersih.(catatan saat membersihkan ari-ari jangan menyentuh ari-ari itu dengan tangan kiri duluan, pakailah tangan kanan, kemudian tangan kiri kerjakan seperti biasa), usahakan saat itu pula pikiran penuh dengan kasih sayang. Setelah bersih lalu dimandikan lagi dengan air kumkuman yang telah tersedia. Kemudian buah kelapa tua yang sebelumnya sudah dipotong (tidak dibelah), tulis kelapa bagian dalamnya yang atasan dengan hurup Bali Ongkara. Masukan ari-ari yang sedah bersih kedalam kelapa, isi madu, wangi-wangian, minyak wangi, anget-anget, dan lontar bertuliskan huruf bali berisi kalimat nunas panugrahan kepada Ibu pertiwi nitip arai-ari, semoga beliau berkenan mengayomi sijebang bayi. Lalu cakupkan kedua belah kelapa yang di potong tadi lalu dibungkus memakai ijuk, kemudian lanjut dibungkus dengan kain putih. Dan seterusnya di pendem di depan Bale daja (meten), kalau tidak punya meten,boleh mendem di natar di depan kamar tidur, kalau bayinya perempuan di sebelah kira dari meten, kalau laki disebelah kanan dari meten. Kemudian siram memakai air bekas membersihkan itu, lalu kubur, diatasnya isi batu hitam dan tanamkan pandan berduri. Haturkan sepasang canang berisi dupa, waktu menghaturkan canang itu ( kehadapan Ibu Pertiwi ), lagi memohon agar si bayi mendapat perlindungan dari Beliau.

III. PENUTUP.

Demikianlah tatacara mendem ari-ari menurut tuntuna lontar Angastyaprana.Selamat melakukan, semoga si Bayi pajang umur dan mejadi anak yang suputra. Bila ada hal-hal yang belum dimengerti bisa dikonsultasikan agar mendapat pengertian yang jelas di dalam melaksanakan. 
Om Santih, Santih, Santih Om.


MERU

Om Swastiastu,
Meru itu adalah konsep hyang widhi dikeluarkan oleh beliau mpu kuturan pada abad ke-sebelas di Bali. Sebelum adab ke-sebelas tidak ada kata Meru. Kalau kita melihat meru itu dari sudut bahasa; Meru artinya gunung. Jadi, tumpang adalah ketinggian. Gunung itu berbeda-beda tingginya. Ada tingginya sekian namanya bukit. Ada yang paling tinggi namanya Mount Everest. Jadi Meru itu simbolnya gunung. Kenapa menggunakan simbol gunung karna kita adalah hindu aliran Siwa'estis. Siwa itu selalu diyakini berstana di gunung sebagai lingajala. Nah, sekarang tumpang meru ada macam-macam tergantung pada klasifikasinya. Gunung'pun berbeda-beda tingginya. Nah, kalau bicara sekarang di merajan yang biasa itu paling tinggih meru tumpang kalih dan tumpang tiga. Di merajan kawitan bisa sampai tumpang lima dan tumpang pitu. Kalau di Khayangan jagat bebas, sampai tumpang sebelas pun ada. Kalau di merajan kecil dikasih misalnya meru tumpang sebelas ya itu tentu terlalu besar. Anggap merajan itu seperti kamar tidur, kalau di kamar tidur cocoknya memakai lampu yang 10 watt tapi tidak ada undang-undang yang melanggar kita memakai lampu yang 1500 watt. Kalau kita menaruh lampu 1500 watt di kamar tidur boleh saja tapi beresiko. Bayar listrik banyak dan bisa terbakar. Jadi, meru tumpang berapa itu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Om Shanti Shanti Shanti Om



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Kerajaan Bali Kuno

Raja-Raja yang Pernah Berkuasa di Bali

Sejarah dan Makna Tari Topeng Sidakarya