Intisari Pemikiran Ida Pedanda Gede Made Gunung 7

PURA
Om Swastiastu,
Di Bali pura di bagi dalam beberapa klasifikasi, yaitu pura umum atau pura kahyang jagat, pura dang khayangan, yaitu pura - pura yang di bangun sebagai pijakan dan landasan bagi para Maha Rsi kita yang datang ke bali, pura fungsional misalnya pura melanting untuk para pedagang, ataupun pura ulun carik untuk petani dan pura geniologi atau pura berdasarkan garis kawitan, misalnya saja pura paibon atau merajan di rumah dan ini bersifat khusus. Begitu pula dengan lungsuran dari pura - pura tersebut, ada tingkatan umum dan ada tingkatan khusus, dan ada orang yang tidak memakan lungsuran dari pura khusus orang lain karena aturan posisi dan fungsi, ada juga karena masalah keyakinan, dan itu tidak bisa dipaksakan. Yang jelas, kebijaksanaan seseorang akan terlihat dari kerendahan hatinya.
Konsep pembangunan pura sebagai tempat sembahyang umat Hindu adalah konsep tentang filosofi adanya penciptaan kehidupan yang disebut dengan Akasa Pertiwi seperti yang disebutkan dalam lontar Siwa Tatwa. Jadi pura ataupun sanggah dibuat terbuka sehingga Akasa sebagai bapa atau unsur Purusa bertemu dengan Ibu Pertiwi sebagai unsur Predana, sehingga terciptalah segala macam kehidupan baik itu tumbuh-tumbuhan binatang dan manusia. Tanpa penyatuan unsur angkasa dan pertiwi maka tidak akan ada kehidupan. Sebagai contoh, Bapa Akasa menurunkan hujan, diterima oleh Ibu Pertiwi maka hiduplah tumbuh-tumbuhan, begitu pula Bapa Akasa menyinari Ibu Pertiwi, tumbuhlah kesuburan. Jadi konsep itulah yang menjadi dasar sehingga di bali pura di buat terbuka, beda dengan pelinggih yang tertutup karena pelinggih adalah stana dari manifestasi beliau yang dipuja di sana.

Pura boleh di atapi namun itu hanya bersifat sementara yang disebut dengan taring, yang digunakan sewaktu waktu misalnya saat ada karya, itupun hanya di natar pura saja. Jadi kalau di atapi secara permanen seperti gedung maka konsep Akasa pertiwinya akan hilang.

Kalau dalam sastra memang tidak ada menyebutkan pura tidak boleh diatapi, karena di dalam weda tidak ada disebutkan pura, yang ada adalah altar yang artinya terbuka dan di Bali berkembang menjadi natar, yang namanya natar pastilah terbuka. Weda tidak membahas kasus per kasus, namun memberikan konsep. Konsep ini hanya bisa dipahami dengan kadalaman dan kesucian hati
karena didalamnya terkandung makna yang adi luhung dan begitu dalam sehingga banyak masyarakat kita yang belum memahaminya. Karena itulah para Maha Rsi leluhur kita sudah menterjemahkan konsep konsep weda tersebut kedalam tatwa- tatwa yang menjadi acuan kita sekarang ini.

Ujan dan panas adalah sesuatu yang alami, disanalah kita diuji apakah betul kita iklas dan tulus bhakti dalam segala keadaan. Jangan lupa bahwa dalam pelaksanaan agama hindu terdapat unsur-unsur yoga, makanya banyak pura di bangun di tebing yang tinggi yang sulit di cari.

Disamping karena faktor vibrasi alam, juga memberi pesan kepada kita bahwa untuk bhakti kepada tuhan dan mencapai tujuan hidup maka kita harus menjaga badan kita agar sehat dengan cara olah raga. Om Shanti Shanti Shanti Om


Sanggah Merajan

Om Swastiastu,
Konsep sanggah / merajan adalah konsep agama hindu yang ada di Bali. Andaikata ingin mengikut konsep sanggah / merajan seperti agama hindu di bali, minimal ada tiga sanggah yang disebut dengan tri lingga yaitu Sanggah Kemulan, Anglurah dan taksu. Andaikata hal ini tidak memungkinkan, misalnya saja lahan yang kurang atau biaya yang tidak mencukupi maka cukup dibuatkan Padmasari, sesuai dengan keputusan Parisada Hindu di Bali tahun 1999, yang mana jika situasi tidak memungkinkan maka tempat suci bisa hanya terdiri dari Padmasari saja.

Agama hindu adalah agama yang mengayomi dan mengangkat budaya lokal, konsep sanggah tri lingga merupakan konsep hindu di bali yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan, karena di Bali agama sudah demikian menyatu dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi masyarakat bali. Tentu di setiap daerah penerapan agama hindu akan berbeda sesuai dengan budaya lokal daerah tersebut, misalnya agama hindu di kaharingan tidak menggunakan sanggah, begitu juga dengan agama hindu di kalimantan ataupun di india, namum pelaksanaan agama hindu tetap mengacu pada nilai - nilai weda dengan implementasi local genius atau kekayaan lokal.

Mengenai upakara yang dihaturkan setiap purnama sebaiknya menghaturkan canang, mengenai bentuk canang di bali juga akan berbeda dengan yang di luar bali, kembali pedanda sampaikan ini karena karekter dan kondisi masyarakat bali yang umumnya berjiwa seni sehingga bentuk canang dan upakara yang lainpun cenderung rumit dan artistik. Jika ingin mengikuti konsep hindu di Bali, bisa menggunakan canang sari dengan alas ceper, duras, porosan dan yang lainya. Namun jika budaya lokal di sana mempunyai bentuk canang yang berbeda itu tidak masalah, selama dipersembahkan atas ketulusan hati.


Kalau ruang tidak memungkinkan untuk membuat tempat suci kita boleh membuat tempat suci yang sederhana, antara lain itu pelangkiran. Misalnya di rumah susun bagaimana kita membuat padmasana itu tidak mungkin. Di BTN bagaimana bikin rong tiga karna tanah satu are kurang. Contoh-contoh ini boleh mengunakan solusi yang sederhana ini. Mengenai tidak mengunakan sarana apapun untuk bersembahyang itu tidak disalahkan asalkan memang tidak bisa mencari atau dapat sarana seperti bunga. Misalnya seperti air yang kita memakai untuk bersembahyang, kalau mau cuci tangan tapi tidak ada air, dimana-mana tidak ada air kita bisa memakai debu. Itu ada sastranya pakai debu. Maka, kalau sembahyang ada bunga lalu kita tidak mengunakan bunga nah itu masih perlu ditingkatkan memakai bunga. Mengenai rajin mengucapkan Gayatri mantra itu semua bagus. Hanya saja Pedanda berpesan, pikiran perkataan perbuatan harus laras sehingga phalanya kita dapat. Karna, di yang terakhir dapat phala adalah perbuatan. Walaupun kita sembahyang mohon keselamatan dan gayatri mantram diucapkan seribu kali tetapi tetap ngebut di jalan ya tetap saja tabrakan. Jadi, tindakan yang dinilai oleh tuhan bukan pikiran dan perkataan. Lebih baik bersembahyang dengan gayatri mantram dan hidup'pun kita damai dengan yang lainnya. Itu baru tuhan berikan anugerah kepada kita. Om Shanti Shanti Shanti Om

Upacara

Upacara juga mempunyai kedudukan yang penting, karena merupakan bagian dari pelaksanaan ajaran agama hindu bali yang berfokus pada karma sandyasa. Namun dalam pelaksanaanya jangan sampai keluar dari rel yang ditentukan. Dari sudut artha atau kemampuan secara materi sudah ada tingkatan yang bisa dipilih yaitu khanista, madya dan utama. Dan semua tingkatan itu sama mulianya, yang terpenting dipersembahkan dengan tulus iklas. Jadi sesuaikan kemampuan materi kita dengan tingkatan yang bisa dilakukan.

Ini yang sering keliru dipahami oleh umat sehingga timbul kesan bahwa upacara itu adalah sebuah pemborosan. Seperti yang sering pedanda sampaikan, ada 4 kritera seseorang nangun yadnya, yaitu kemauan, kemampuan, sitiasi dan kondisi serta harus ada landasan sastra. Berupacara haruslah didasari atas kemauan atau keinginan berbhakti kepada Sang Hyang Widhi yang mana tingkatan upacara harus disesuaikan dengan kemampuan materi, situasi saat itu dan juga dalam pelaksanaanya mengacu pada satra agama. Sangat salah bila kita berupacara terlalu memaksakan diri sehingga malah menjadi berhutang. Yang sering menjadi masalah adalah perasaan gengsi jika tidak berupaca dengan mewah padahal kemampuan tidak memadai. Lain halnya jika dari segi materi kita mampu maka itu tidak menjadi masalah karena tidak akan membebani ekonomi keluarga dan disamping itu juga memutar perekonomian karena semua lapisan masyarakat mulai dari dagang busung, dagang kucit dan lainya ikut mendapatkan rejeki dari pelaksanaan upacara tersebut.

Upacara adalah media pendidikan atau sebuah sarana pembelajaran guna dapat memahami tatwa agama sehingga bisa diterapkan dalam tingkah laku sehari-hari/susila. Upacara adalah sebuah wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi yang dalam pelaksanaanya dilandasi dengan Tatwa atau filsafat agama, jadi semestinya saat kita melakukan suatu upacara kita harus bisa memahami tatwa atau filsafat apa yang terkandung dalam upacara tersebut, sehingga nilai – nilai filsafat itu bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari – hari. Inilah yang tidak nyambung sekarang ini, sehingga seolah – olah upacara berdiri sendiri dan menjadi lebih dominan daripada tawa dan susila, yang mana seharusnya ketiganya seiring sejalan. Seharusnya, semakin sering berupacara, semakin banyak tau tatwa, semakin banyak tau tatwa semakin bagus mental dan spiritual, semakin bagus mental dan spiritual maka makin baik pula tingkah laku kita. Om Shanti Shanti Shanti Om

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Kerajaan Bali Kuno

Raja-Raja yang Pernah Berkuasa di Bali

Sejarah dan Makna Tari Topeng Sidakarya